TEMPO.CO, Dubai - Para perempuan berada di garis depan protes yang meletus di pemakaman Mahsa Amini, yang meninggal di tahanan polisi Iran pada bulan lalu. Sejak itu, aksi protes menyebar di negara itu dan menjadi tantangan bagi republik Islam itu sejak revolusi 1979.
Salah seorang perempuan yang merasakan tekanan akibat pelaksanaan hukum Islam di negeri itu adalah pensiunan guru Somayyeh. Namun ia merasa terlalu takut untuk melawan ulama yang berkuasa sampai pada kematian Amini.
Baca: Ikut Demo Mahsa Amini, Putri Eks Presiden Iran Didakwa Lakukan Propaganda
Kematian Amini telah menjadi titik temu yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi perempuan yang mengambil risiko besar untuk memperjuangkan kebebasan, menyerukan kejatuhan ulama berkuasa dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Namun para analis percaya peluang untuk perubahan politik di Iran tipis.
Menurut Somayyeh, kematian Amini adalah serangkaian hal buruk yang terjadi pada perempuan. “Ini adalah hasil dari penindasan selama bertahun-tahun terhadap perempuan Iran,” kata Somayyeh. “Kami bosan dengan Undang-Undang yang diskriminatif, dipandang sebagai warga negara kelas dua. Sekarang, kami menginginkan perubahan politik.”
Somayyeh mengatakan tidak bisa hidup dengan ketakutan bahwa putrinya dapat dilanggar oleh polisi moral dan dibunuh. “Kematian Mahsa menunjukkan bahwa kita harus berjuang melawan aturan ini,” kata dia seperti dikutip Reuters, Kamis, 13 Oktober 2022.
Keluhan terbanyak adalah mengenai penerapan aturan berpakaian yang wajib ditaati perempuan, yang populasinya lebih dari separuh penduduk Iran dan termasuk yang paling berpendidikan tinggi di Timur Tengah. Tingkat melek huruf perempuan Iran mencapai lebih dari 80 persen dan lebih dari 60 persen dari badan mahasiswa universitas Iran.
Di bawah syariat Islam yang diterapkan di Iran, yang diberlakukan setelah revolusi, pria dapat menceraikan istrinya jauh lebih mudah daripada perempuan menceraikan suaminya. Sedangkan hak asuh anak di atas usia tujuh tahun secara otomatis jatuh ke tangan ayahnya.
Perempuan, termasuk anggota parlemen dan pejabat senior, memerlukan izin dari suami untuk bepergian ke luar negeri. Kesaksian mereka sebagai saksi sah bernilai setengah dari laki-laki. Perempuan secara legal bisa melakukan sebagian besar pekerjaan, menjadi pemilih, atau mengemudi, tetapi mereka tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau menjadi hakim.
Tekanan pada kaum perempuan meningkat sejak Ebrahim Raisi memenangi pemilu presiden pada tahun lalu. Pada Juli 2022, ia menerapkan peraturan tentang hijab dan kesucian yang berisi banyak pembatasan seperti perempuan dilarang memasuki beberapa bank, kantor pemerintah, dan beberapa jenis transportasi umum.
Pemerintah menambah jumlah mobil polisi moral di jalan-jalan. Video di media sosial memperlihatkan petugas memukul dan mendorong perempuan dan menahan mereka. Tindakan itu membuat banyak penduduk marah. Mereka merasa layak hidup di negara bebas dan memiliki hak yang dinikmati oleh orang-orang di negara lain.
“Ini bukan soal aturan berpakaian lagi. Ini tentang hak bangsa Iran, yang telah disandera oleh ulama selama beberapa dekade," kata Nasrin, 38, warga Kota Yazd. “Saya ingin hidup seperti yang saya inginkan. Kami berjuang untuk Iran yang lebih baik tanpa ulama sebagai pemimpin negara.”
Pasukan keamanan Iran menghadapi para demonstran yang memprotes kematian Amini dengan keras. Menurut kelompok hak asasi manusia, tindakan petugas itu mengakibatkan tak kurang dari 185 orang termasuk di antaranya 19 anak di bawah umur meninggal. Tindakan petugas keamanan juga melukai ratusan orang dan ribuan orang ditangkap. Adapun pihak berwenang Iran mengatakan sedikitnya 20 anggota pasukan keamanan tewas selama kerusuhan.
“Saya dibesarkan di Iran bermimpi hidup di negara bebas, di mana saya bisa bernyanyi dengan bebas, menari dengan bebas, punya pacar dan memegang tangannya di jalan tanpa takut polisi moral," kata Jinous, 27 tahun, seorang penerjemah lepas.
Gelombak protes terhadap aturan hijab telah merebak dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2014, jurnalis-penulis Iran, Masih Alinejad, memulai kampanye “Kebebasan Tersembunyiku” di Facebook, di mana ia membagikan foto-foto perempuan Iran yang dikirim kepadanya.
Hal itu kemudian diikuti dengan kampanye pemakaian hijab putih setiap Rabu pada 2017 dan protes hijab pada 2018 ketika perempuan turun ke jalan dengan mengangkat kerudung mereka tinggi-tinggi. Menurut kelompok HAM, puluhan perempuan telah dipenjara karena aktivisme mereka melawan aturan wajib hijab.
Baca: Dukung Mahsa Amini, Angelina Jolie: Perempuan Iran Tak Butuh Polisi Moral dan Pikiran Dikontrol
REUTERS