Dampak Perjanjian Oslo
Ratifikasi Perjanjian Oslo sayangnya hanya seumur jagung. Pada 1998, para petinggi Palestina menuding pihak Israel tidak menindaklanjuti penarikan pasukan dari Gaza dan Hebron yang tercantum dalam kesepakatan. Selain itu, setelah mulanya memperlambat pembangunan permukiman di Tepi Barat, atas permintaan Amerika Serikat, pembangunan perumahan baru Israel di wilayah tersebut dimulai lagi dengan serius pada awal 2000-an.
Terdapat pula sejumlah kritik yang dilayangkan terhadap Palestina yang mengatakan bahwa tindak kekerasan Palestina terhadap warga Israel meningkat usai meningkatnya kekuasaan otoritas Palestina. Otoritas Palestina dinilai gagal mengawasi Gaza dan Tepi Barat secara memadai, dan mengidentifikasi serta menindak tersangka teroris.
Deretan konflik tersebut membuat perwakilan dari kedua belah pihak berkumpul kembali sekali lagi di Camp David, dalam upaya menindaklanjuti Kesepakatan Oslo dengan perjanjian damai yang komprehensif.
Namun, adanya Amerika Serikat yang memainkan peran kunci dalam negosiasi membuat pembicaraan tidak berjalan ancar. Hal itu diperumit oleh masa estafet kepemimpinan Amerika Serikat. Ketika itu masa jabatan kedua Presiden Bill Clinton akan berakhir, dan ia akan digantikan oleh George W Bush pada Januari 2001.
Pada September 2000, militan Palestina mendeklarasikan "Intifada Kedua," yang menyerukan peningkatan kekerasan terhadap orang Israel usai perdana menteri mereka Sharon mengunjungi Temple Mount, sebuah tempat yang keramat baik bagi orang Yahudi maupun Muslim.
Tindak kekerasan yang kerap terjadi memperkecil harapan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Kedua belah pihak tidak lagi melakukan negosiasi yang substantif sejak saat itu. Meski sejumlah hasil perjanjian tersebut tetap berlaku hingga sekarang, namun hubungan kedua belah pihak masih kerap memanas oleh sejumlah konflik yang terjadi.
HATTA MUARABAGJA
Baca : Tepi Barat Memanas, Warga Palestina Tewas Ditembak Tentara Israel
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.