TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis hak asasi manusia Nadia Murad meluncurkan pedoman global tentang cara mengumpulkan bukti secara aman dan efektif dari para penyintas dan saksi kekerasan seksual dalam konflik.
Murad, yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2018 atas upayanya mengakhiri pemerkosaan sebagai senjata perang, pertama kali berbicara kepada Dewan Keamanan PBB pada 2015 dalam usia 22 - menggambarkan penyiksaan dan perkosaan yang dideritanya saat diperbudak oleh ISIS tahun sebelumnya.
Dijuluki Kode Murad, panduan baru ini dikembangkan dengan pendanaan Inggris oleh kelompok kampanye Nadia's Initiative dan Institut Investigasi Kriminal Internasional, yang bertujuan mengurangi risiko trauma lebih lanjut bagi para penyintas saat memberikan bukti.
“Kode Murad menjabarkan pedoman yang jelas dan praktis untuk memusatkan kebutuhan para penyintas saat mengumpulkan bukti, dan memastikan bahwa mereka menerima keadilan dan dukungan, bukan akibat. Para penyintas setidaknya layak mendapatkannya,” katanya di Markas PBB New York, Rabu, 13 April 2022.
Pengumuman itu muncul ketika PBB mengatakan semakin banyak mendengar laporan pemerkosaan dan kekerasan seksual di Ukraina dan kelompok hak asasi manusia Ukraina menuduh pasukan Rusia menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang. Sejak menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Rusia telah membantah menyerang warga sipil.
"Saya terkejut dengan meningkatnya jumlah laporan kekerasan seksual oleh pasukan Rusia yang muncul dari konflik di Ukraina," kata Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss dalam sebuah pernyataan, menggambarkan Kode Murad sebagai "langkah penting" menuju dukungan bagi para penyintas dan membawa pelaku ke pengadilan.
Murad bekerja dengan pengacara hak asasi manusia Amal Clooney untuk melobi Dewan Keamanan agar tim investigasi PBB mengumpulkan, melestarikan, dan menyimpan bukti di Irak tentang tindakan ISIS yang mungkin merupakan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau genosida. Dewan membentuk tim pada tahun 2017 dan mulai bekerja setahun kemudian.