TEMPO.CO, Jakarta -Sri Lanka tengah dilanda krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan 1948. Negara Asia Selatan berpenduduk 22 juta orang itu sampai mengumumkan pemadaman listrik 13 jam setiap harinya secara nasional mulai Kamis, 31 Maret 2022.
Minimnya penjatahan listrik di Sri Lanka terjadi sejak awal bulan. Tidak adanya minyak untuk pembangkit listrik tenaga panas disebut jadi penyebab masalah ini.
Pejabat menyebut, lebih dari 40 persen listrik Sri Lanka dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air, tetapi sebagian besar reservoir hampir habis karena tidak ada hujan.
Bukan hanya itu, akibat lainnya, banyak rumah sakit yang menangguhkan operasi rutinnya setelah kehabisan obat-obatan. Dua rumah sakit baru saja menangguhkan operasi rutin karena mereka sangat kekurangan pasokan medis vital, anestesi, dan bahan kimia untuk melakukan tes diagnostik. Stok yang mereka miliki hanya tersedia untuk kasus darurat.
Fasilitator medis terbesar di negara itu, Rumah Sakit Nasional Sri Lanka di ibu kota, mengatakan pihaknya juga telah menghentikan tes diagnostik rutin. Seorang pejabat menyebutkan, bagaimanapun, bahwa fasilitas tersebut terus menerima pasokan listrik dari jaringan nasional.
Regulator kelistrikan negara itu telah mendesak lebih dari satu juta pegawai pemerintah untuk bekerja dari rumah guna menghemat bahan bakar.
“Kami mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengizinkan sektor publik, yaitu sekitar 1,3 juta karyawan, untuk bekerja dari rumah selama dua hari ke depan sehingga kami dapat mengelola kekurangan bahan bakar dan listrik dengan lebih baik,” Janaka Ratnayake, ketua Utilitas Publik Komisi Sri Lanka, mengatakan dikutip dari Aljazeera, Kamis, 31 Maret 2022.
Krisis terjadi karena Sri Lanka disebut kekurangan mata uang asing untuk membayar, bahkan melakukan impor penting. Cadangan devisa yang turun hingga 70 persen dalam dua tahun terakhir, yakni US$2,31 miliar atau Rp33 triliun per Februari, membuat Sri Lanka berjuang untuk mengimpor kebutuhan pokok, termasuk makanan dan bahan bakar.
Pemadaman listrik yang berlarut-larut pada Rabu, menurut Ratnayake, sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah untuk membayar pengiriman 37 ribu ton diesel yang sedang menunggu pembongkaran.
Dampak lain dari krisis di Sri Lanka ini protes di seantero negeri meluas. Ratusan pengendara memblokir jalan-jalan utama di beberapa kota. Sementara puluhan lainnya berdemonstrasi di luar Bank Sentral Sri Lanka di Kolombo menuntut pemecatan Gubernur Ajith Cabraal.
Pejabat dari Ceylon Petroleum Corporation milik negara mendesak pengendara yang mengantre untuk pergi dan kembali hanya setelah diesel impor dibongkar dan didistribusikan. Harga bahan bakar juga telah berulang kali dinaikkan, dengan biaya bensin hampir dua kali lipat dan solar naik 76 persen sejak awal tahun.
Kesulitan Sri Lanka saat ini diperparah oleh pandemi COVID-19, yang berdampak buruk pada pariwisata dan pengiriman uang. Banyak ekonom juga menyalahkan salah urus pemerintah termasuk pemotongan pajak dan defisit anggaran selama bertahun-tahun.
Kantor statistik Sri Lanka pada Rabu mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,7 persen untuk tahun kalender 2021, sebelum krisis mulai menggigit – naik dari rekor kontraksi 3,6 persen pada tahun sebelumnya.
Baca juga: Sri Lanka Batalkan Ujian Sekolah Jutaan Siswa karena Kehabisan Kertas
SUMBER: ALJAZEERA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.