TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Mesir terkemuka Alaa Abdel Fattah dijatuhi hukuman lima tahun penjara dalam kasus penyebaran berita palsu pada Senin, 20 Desember 2021.
Blogger Mohamed Ibrahim dan pengacara Mohamed El-Baqer, yang menghadapi dakwaan sama, dijatuhi hukuman empat tahun.
Ketiganya telah ditahan sejak September 2019. Abdel Fattah, seorang aktivis terkemuka dalam pemberontakan 2011 yang menggulingkan presiden Hosni Mubarak setelah tiga dekade berkuasa, sebelumnya dipenjara selama lima tahun pada 2014 dan dibebaskan pada 2019.
Keluarga Abdel Fattah mengeluhkan kondisi penahanannya.
“Dia dilarang mengakses buku, radio, jam tangan, dan dia dilarang berjalan (di luar sel penjaranya). Dia tidak meninggalkan sel penjaranya sama sekali kecuali ketika kami mengunjunginya atau jika dia disidang," kata ibu Abdel Fattah, Leila Soueif sebelum sidang.
Adik perempuan Abdel Fattah, Sanaa Seif, dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara pada Maret atas tuduhan serupa setelah menyerukan agar para tahanan dibebaskan selama pandemi Covid-19.
Pemerintah Mesir membantah tuduhan mengenai kondisi penjara.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington "kecewa" dengan putusan itu dan bahwa jurnalis dan pembela hak asasi manusia harus dapat menggunakan kebebasan berekspresi mereka tanpa menghadapi hukuman pidana.
Pemerintahan Presiden Joe Biden pada bulan September mengatakan akan menahan bantuan militer senilai $130 juta ke Mesir sampai Kairo mengambil langkah-langkah khusus terkait dengan hak asasi manusia, tetapi Price pada hari Senin menolak untuk mengatakan apakah bantuan tambahan akan ditahan.
"Kami telah menekankan kepada pemerintah Mesir bahwa hubungan bilateral kami diperkuat dengan meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kami akan terus melibatkan pemerintah Mesir untuk mempromosikan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia universal lainnya," kata Price.
Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan tidak pantas mengomentari keputusan pengadilan.
"Sama sekali tidak cocok untuk mengomentari putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang berdasarkan bukti yang kuat dan meyakinkan dalam proses peradilan yang adil, tidak memihak dan independen," kata Ahmed Hafez, juru bicara kementerian luar negeri, seperti dikutip kantor berita Mesir, Selasa.
"Masalah peradilan ini tidak boleh ditempatkan dalam bingkai politik atau terikat pada jalur hubungan antara kedua negara", katanya.
Sejak 2013, ketika panglima militer saat itu Abdel Fattah el-Sisi menggulingkan Presiden Mohamed Mursi dari Ikhwanul Muslimin, telah terjadi tindakan keras terhadap perbedaan pendapat di Mesir. Kelompok hak asasi manusia mengatakan puluhan ribu orang ditahan karena mengkritik pemerintah .
Abdel Fattah el-Sisi, yang menjadi presiden sejak 2014, mengatakan keamanan dan stabilitas adalah yang terpenting dan menyangkal ada tahanan politik di Mesir.