TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Brazil Luiz Inacio da Silava atau yang akrab disapa Lula kembali menjadi sorotan publik setelah dibebaskan dari penjara pada Jumat, 8 November 2019. Sehari setelah kebebasannya, Lula pun menyatakan kesiapannya untukmaju dalam pemilu Brazil 2022.
Dalam panggung politik Brazil, Lula bukan sosok yang asing. Dia pernah memimpin Brazil pada 2003 – 2010, namun masa jabatan itu dirasanya masih belum cukup. Dia masih berambisi memperbaiki ekonomi Brazil dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Dikutip dari britannica.com, Minggu, 10November 2019, Lula menjalani masa kecil yang tidak mudah. Dia pernah bekerja sebagai tukang semir sepatu, pedagang kaki lima hingga buruh pabrik. Semua itu dijalaninya semata demi membantu perekonomian keluarga.
Saat Brazil terpuruk dalam resesi yang diikuti dengan kudeta militer pada 1964 di Brazil, Lula diterima bekerja di Villares Metalworks di Sao Bernado do Compo, yakni sebuah kawasan industri di wilayah pinggir Sao Paulo. Bisa dibilang, disitulah bakat kepemimpinan Lula menemukan jalannya atau persisnya saat bergabung dengan serikat buruh Metalworkers pada 1972. Lula meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja agar bisa sepenuhnya mengelola organisasi serikat buruh itu hingga pada 1975, Lula terpilih menjadi Presiden Serikat Buruh.
Terpilihnya Lula pada posisi itu membuatnya mendapat sorotan luas mengingat dia membawa misi melakukan gerakan kenaikan upah dimana hal in ditentang oleh rezim berkuasa saat itu. Penolakan itu lalu dibalas dengan serangakaian gerakan mogok kerja. Lula ditahan dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan menciderai undang-undang keamanan nasional.
Setelah dibebaskan dari penjara, Lula tak jera. Dia untuk pertama kali masuk dunia politik dengan maju sebagai kandidat Gubernur negara bagian Sao Paulo pada 1982. Namun saat itu bintang politiknya belum bersinar.
Dia kemudian memimpin gerakan nasional di sejumlah kota besar pada 1983 dan 1984 menuntut agar Presiden Brazil dipilih secara langsung oleh masyarakat. Sosok Lula mulai semakin serius dilirik lewat kiprahnya ini hingga dia terpilih menjadi Wakil Dewan Nasional Brazil pada 1986. Pada 1989, Lula maju sebagai kandidat presiden Brazil dari Partai Pekerja, namun dia kalah.
Kekalahan itu tak menyurutkanya, dimana pada 1994 dan 1998 dia maju lagi sebagai kandidat Presiden Brazil. Namun kedua pemilu itu masih dimenangkan oleh Fernando Cardoso. Pada 2002, Lula maju lagi dalam pemilu presiden dengan mendorong masyarakat pinggir ikut berpatisipasi dalam pemilu dan mendorong para pemimpin bisnis serta menjanjikan akan bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) agar bisa memenuhi target-target fiskal negara. Strategi ini membuahkan hasil, dia mendapat 61,5 persen suara dan dinobatkan sebagai Presiden Brazil.
Lula tercatat dua periode memimpin Brazil. Pada pemilu selanjutnya, dia menunjuk Dilma Rousseff, Kepala Staf Kepresidenan, sebagai penerusnya. Lula mengatakan Rousseff akan meneruskan kebijakan –kebijakan Lula yang belum tuntas.
Namun pada awal tahun kedua pemerintahan Rousseff, dugaan adanya skandal korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat di Petrobas terbongkar. Petrobas adalah BUMN bidang minyak, dimana kasus ini juga menyeret sejumlah nama politikus.
Pada 2015, investigasi besar-besaran dilakukan hingga pada 4 Maret 2016, rumah Lula digeledah polisi. Dia diinterograsi, sebelum akhirnya dibebaskan. Namun sepekan kemudian, Lula dikenai tuduhan pencucian uang. Lula menyangkal bersalah.
Dia dibebaskan pada Jumat, 8 November 2019 atau sehari setelah Mahkamah Agung Brazil menerbitkan sebuah putusan yang lebih luas yang mengakhiri pemenjaraan wajib terhadap Lula. Mahkamah Agung memutuskan bahwa terdakwa hanya boleh dipenjara jika mereka telah kehabisan opsi banding mereka. Lula sebelumnya kalah di sidang banding pertama yang memvonisnya hukuman sembilan tahun penjara.