TEMPO.CO, Hong Kong – Pemerintah Hong Kong bakal membahas kemungkinan penerapan undang-undang darurat untuk mengatasi unjuk rasa besar-besaran yang terjadi selama sekitar empat bulan terakhir.
Salah satu aturan dalam UU Darurat itu adalah larangan bagi demonstran untuk mengenakan masker saat berunjuk rasa.
“Pemerintahan dukungan Beijing ini bakal menggelar pertemuan pada Jumat pagi untuk membahas kemungkinan penerapan undang-undang darurat dari era kolonial, yang tidak pernah digunakan selama lima puluh tahun terakhir,” kata dua orang sumber Reuters seperti dilansir pada Kamis, 3 Oktober 2019.
Otoritas Hong Kong juga telah mengendurkan aturan penggunaan kekuatan oleh polisi dalam menangani demonstrasi. Ini diketahui dari sejumlah dokumen panduan mengatasi demonstrasi yang diakses Reuters.
Pengenduran aturan ini terjadi beberapa saat sebelum demonstrasi rusuh pada Selasa, yang berakibat tertembaknya seorang remaja berusia 18 tahun. Remaja ini mengalami luka serius pada dada akibat tembakan peluru tajam dan dilarikan ke rumah sakit.
Sekitar 100 orang terluka dan polisi menembakkan 1.400 kaleng gas air mata. Polisi juga menembakkan 900 butir peluru karet serta lima peluru tajam kepada perusuh yang melemparkan bom molotov serta menggunakan tongkat besi.
Menurut South China Morning Post, 3 Oktober 2019, Undang-undang Darurat era kolonial tahun 1922 memberi kewenangan kepada pemimpin kota untuk membuat berbagai peraturan yang dipertimbangkan dibutuhkan untuk kepentingan publik dalam situasi darurat atau membahayakan masyarakat.
"Kami hanya lembaga penegakan hukum dengan kewenangan terbatas di bawah hukum. Dalam menghadapi serangkaian kerusuhan besar, kami tidak dapat bekerja sendiri tanpa langkah-langkah tepat dan dukungan dari petinggi," kata Lam Chi-wai, Kepala Asosiasi Polisi Junior di Hong Kong.
UU Darurat ini telah memakan banyak korban ketika menghadapi kerusuhan kelompok kiri pada 1967 di Hong Kong. UU Darurat ini membolehkan sensor terhadap media, penangkapan, deportasi, dan pengawasan pelabuhan dan semua transportasi, perampasan properti, dan berwenang untuk menggerebek tempat tertentu.
Hong Kong mengalami goncangan stabilitas hebat setelah pemerintah berupaya mengesahkan legislasi ekstradisi, yang ditolak masyarakat. Aturan itu memungkinkan pemerintah mengekstradisi warganya yang diduga melanggar hukum ke Cina. Meski legislasi telah ditarik dari parlemen, warga terus berunjuk rasa menuntut diterapkannya sistem demokrasi agar bisa memilih pemimpin secara langsung.