TEMPO.CO, Jakarta - Cina mengatakan etnis Uighur di Xinjiang dipaksa masuk Islam beberapa abad lalu.
Cina berupaya menjustifikasi kebijakan kontroversialnya, yang diyakini telah menahan 2 juta Muslim Uighur dan minoritas lain di Xinjiang.
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Ahad, Kantor Informasi Dewan Negara Cina menggambarkan Xinjiang sebagai masyarakat dengan beragam agama dan telah hidup berdampingan selama berabad-abad.
Dokumen setebal 6.800 kata, dirilis secara penuh oleh kantor berita negara Xinhua, mengatakan bahwa Xinjiang "menghormati kebebasan warga negara untuk percaya, atau tidak percaya, pada agama apa pun," seperti dikutip dari CNN, 23 Juli 2019.
Laporan juga mengatakan Islam diperkenalkan ke wilayah Xinjiang dengan paksa selama perang agama di abad ke-10, yang mengakhiri dominasi agama Buddha selama berabad-abad.
"Peralihan Uighur ke Islam bukanlah pilihan sukarela yang dibuat oleh rakyat biasa, tetapi hasil dari perang agama dan pemaksaan oleh kelas yang berkuasa," kata laporan itu.
"Islam bukanlah adat atau satu-satunya sistem kepercayaan masyarakat Uighur," tambahnya.
Cina secara resmi adalah negara ateis, meskipun sekitar 18 persen populasi mengidentifikasi diri mereka sebagai penganut Buddha, 5 persen Kristen dan Muslim di bawah 2 persen, menurut CIA Factbook.
Pekerja melewati bangunan pusat pendidikan keterampilan kejuruan untuk Muslim Uighur yang dikelilingi pagar berduri di Dabancheng, Xinjiang, Cina, 4 September 2018. Berdasarkan laporan, para tahanan beragama Islam dipaksa keluar dari agama mereka dan bersumpah setia kepada Partai Komunis Cina. REUTERS
Xinhua mengatakan sejarah wilayah Xinjiang telah terdistorsi oleh "pasukan asing yang bermusuhan dan pasukan separatis, ekstremis agama dan teroris."
Laporan juga menampik etnis Uighur diturunkan dari Turki, dengan menyebut Xinjiang sebagai bagian dari Cina dan tidak pernah disebut Turkistan Timur.
Beijing telah memiliki sejarah yang panjang atas Xinjiang, sebuah wilayah otonom di ujung barat Cina yang merupakan rumah bagi populasi yang relatif kecil, sekitar 22 juta di negara berpenduduk 1,4 miliar orang.
Etnis Uighur yang mayoritas Muslim, yang secara etnis berbeda dari kelompok etnis mayoritas negara itu, Cina Han, membentuk mayoritas di Xinjiang, di mana jumlah mereka hanya di bawah setengah dari total populasi.
Laporan mengatakan sekarang ada 24.800 tempat untuk kegiatan keagamaan di Xinjiang, termasuk 24.400 masjid dan 400 kuil, gereja dan tempat-tempat doa lainnya.
Orang-orang Uighur menyebut kampanye Cina terhadap orang Uighur seperti sebuah genosida budaya, di mana mantan tahanan kamp menggambarkan indoktrinasi dalam propaganda Partai Komunis dan larangan di seluruh wilayah mengenai budaya dan tradisi Uighur.
Pada 2017, jenggot panjang dan cadar dilarang di Xinjiang, atau memberi nama yang tidak sesuai. Pada tahun 2018, pegawai negeri Cina mulai wajib tinggal di rumah bersama keluarga Uighur untuk membantu penduduk Xinjiang berasimilasi, dan mengawasi praktik-praktik keagamaan atau budaya yang tidak disukai.
Pemerintah Cina telah membantah memiliki kamp pendidikan ulang di Xinjiang, menggambarkan kamp sebagai pusat pelatihan kejuruan sukarela.
Cina membela diri bahwa pusat-pusat pendidikan etnis Uighur itu sebagai bagian penting dari program memerangi radikalisasi Islam, yang menurut laporan itu meningkat di seluruh dunia setelah Perang Dingin, sebelum menyebar ke Xinjiang.