TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan parlemen Lebanon menolak rencana perdamaian Palestina-Israel yang diusulkan Amerika Serikat.
Fase pertama rencana Presiden AS Donald Trump untuk menghidupkan kembali proses perdamaian dibahas di sebuah lokakarya ekonomi di Bahrain dan menyerukan dana investasi US$ 50 miliar (Rp 708 triliun), untuk mendorong ekonomi negara Palestina dan negara tetangga Arab.
Baca juga: Amerika Serikat Tawarkan Bantuan, Ini Reaksi Dubes Palestina
Menurut laporan Reuters, 27 Juni 2019, dana US$ 6 miliar (Rp 85 triliun) yang disisihkan untuk Lebanon telah secara luas dianggap Lebanon sebagai insentif untuk menerima permukiman permanen Palestina, yang telah tinggal di antara orang-orang Lebanon, sebagai pengungsi sejak didirikannya Israel pada tahun 1948.
Sejumlah anak yatim piatu asal Libanon dan Palestina di Libanon, menyumbangkan simpanan celengan mereka untuk membantu anak-anak di Gaza, (16/1). AP Photo/Bilal Hussein
Semua partai utama Lebanon menentang penyelesaian permanen Palestina, sebagian besar karena takut mengganggu keseimbangan sektarian antara Kristen dan Muslim.
"Pemerintah dengan parlemen menentang perjanjian ini dan konstitusi kami melarang naturalisasi," kata Hariri, seorang Muslim Sunni.
Baca juga: AS Tawarkan Rp 707 T Agar Palestina Mau Berdamai dengan Israel
Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri, seorang Muslim Syiah, menentang keras inisiatif AS pada Ahad, mengatakan siapa pun yang berpikir "melambaikan miliaran dolar" bisa membuat Lebanon melakukan barter atas prinsip-prinsipnya, adalah sesuatu yang salah.
Baca juga: Kedutaan Palestina di Jakarta Menolak Konferensi yang Digagas AS
Hizbullah, kelompok Lebanon yang didukung Iran, telah menyatakan rencana itu sebagai "kejahatan bersejarah" yang harus dihentikan.
Lebanon diundang ke konferensi Bahrain, tetapi menolak hadir dalam forum rencana ekonomi untuk Palestina yang digagas oleh penasihat senior Amerika Serikat Jared Kushner.