TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Pakistan akan meninjau kembali pembebasan narapidana kasus penistaan agama bernama Aasia Bibi. Putusan pembebasan terhadap Bibi telah memicu gelombang protes berhari-hari di Pakistan dan menciptakan kekacauan.
Dikutip dari aljazeera.com, Selasa, 29 Januari 2019, Mahkamah Agung rencananya akan mendengarkan sebuah petisi terhadap pembebasan Bibi. Sebelum dibebaskan Oktober 2018, Bibi sudah menjalani hukuman penjara selama 8 tahun.
Baca: Penistaan Agama, Pengacara Asia Bibi Berlindung ke Belanda
Jika putusan Mahkamah Agung mendukung putusan pengadilan banding, maka Bibi akan diberikan kebebasan, termasuk melakukan perjalanan ke Kanada yang telah memberikannya suaka. Bibi sekarang ini di bawah perlindungan aparat keamanan Pakistan dan keberadaannya di Pakistan dirahasiakan demi keamanannya.
Pengacara Bibi, Saiful Malook sudah kembali ke ibu kota Islamabad pada Selasa, 29 Januari 2019 untuk mengikuti sesi dengar.
Baca: Kasus Penistaan Agama, Putri Asia Bibi Muncul ke Publik
Di Pakistan tuduhan penistaan agama diancam dengan hukuman mati. Walhasil, pembebasan Bibi telah mendorong kelompok – kelompok garis keras di Pakistan melakukan demonstrasi. Sejak 1990, setidaknya sudah 74 orang menjalani hukuman mati terkait tuduhan penistaan agama. Dia berharap kasus hukum terhadap kliennya bisa dihentikan.
“Ini sebuah petisi yang sembrono dan mereka seharusnya didenda karena mengajukan petisi ini. Saya berharap sesi dengar akan diselesaikan dalam hitungan menit dan petisi ini dihentikan,” kata Malook.
Sebelumnya Malook sudah melarikan diri ke Belanda karena merasa nyawanya terancam setelah membela Bibi. Bibi, 54 tahun, ibu lima anak, ditahan pada 2009 setelah dituduh melakukan penistaan agama ketika terlibat cekcok dengan dua perempuan muslim yang menolak minum dari air yang telah digunakan oleh seorang pemeluk kristen di wilayah timur Provinsi Punjab.
Namun yang terjadi, tuduhan terhadap Bibi melebar hingga dia akhirnya dituduh telah menghina Nabi Muhammad. Kepolisian menindaklanjuti dugaan penistaan agama ini dan memvonisnya hukuman mati pada 2010, tetapi di pengadilan banding memutusnya bebas.