TEMPO.CO, Jakarta - Penduduk Palestina yang tinggal di desa Badui di Tepi Barat telah diultimatum oleh pemerintah Israel untuk membongkar dan meninggalkan rumah mereka dalam delapan hari ke depan.
Ultimatum diberikan pada hari Minggu, 23 September 2018 atau beberapa minggu setelah Mahkamah Agung Israel menolak banding terhadap pembongkaran tersebut.
Baca: Uni Eropa Desak Israel Batalkan Pembongkaran Desa Palestina
Menurut unit di Kementrian Pertahanan Israel yang mengawasi urusan sipil di Tepi Barat dengan landasan keputusan Mahkamah Agung, penduduk Khan al-Ahmar telah menerima pemberitahuan hari ini yang mengharuskan mereka untuk membongkar seluruh bangunan di situs tersebut pada 1 Oktober 2018. Apabila mereka menolak, pihak berwenang akan memerintahkan pembongkaran secara paksa sesuai dengan keputusan pengadilan dan hukum.
Kecaman masyarakat internasional dan kritik sebelumnya telah diberikan sehubungan dengan rencana Israel untuk menghancurkan desa yang dihuni 180 orang itu.
Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Spanyol pada awal bulan ini bahkan memperbaharui seruannya untuk Israel agar tidak menghancurkan desa tersebut. Serta mengingatkan tentang konsekuensi bagi penduduk dan prospek solusi dua negara, yaitu Israel dan Palestina.
“Tidak ada satupun yang pergi. Kami harus diusir secara paksa,” ucap Eid Abus Khamis selaku juru bicara desa badui kepada Aljazeera. Menurutnya, pertemuan warga akan diadakan untuk membahas masalah ini.
Baca: PBB: Israel Langgar Hukum Internasional di Palestina
“Apabila kami ingin mengambil insentif ini, kami akan mengambilnya sejak 30 tahun yang lalu, insentif terus berdatangan tetapi kami selalu menolak,” ujar Khamis, “Kami akan tetap tinggal di tanah kami dan kami tidak akan pergi hanya dengan paksaan.”
Seorang ayah dari empat anak berusia 37 tahun bernama Yousef Abu Dahouk mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pasukan Israel telah memasuki desa dan mengayunkan senjata tajam di depan anak-anak dekat sekolah yang juga diperkirakan akan dihancurkan.
“Pasukan Israel mencoba untuk masuk ke dalam sekolah tetapi para aktivis mencegahnya. Setelah itu, mereka mengelilingi desa, di antara rumah-rumah dan menjelajahi tempat itu dengan tujuan untuk mencari tahu berapa banyak aktivis yang ada. Kemudian mereka pergi,” ujarnya.