TEMPO.CO, London - UNICEF, lembaga perlindungan anak di Perserikatan Bangsa-bangsa, mendesak penyedia layanan Internet untuk menghentikan penayangan konten pornografi anak-anak, terutama di Filipina.
Keprihatinan UNICEF mengemuka setelah melihat banyak keluarga miskin di Filipina mendorong anak-anaknya tampil dalam website seks online untuk disajikan kepada para pedofil di seluruh dunia.
"Tidak ada batasan soal bagaimana kejam dan kasarnya bisnis ini dan bernilai miliaran dolar," kata Kepala UNICEF di Filipina, Lotta Sylwander, seperti dilansir Straits Times pada 8 Juni 2016. Dia menyebut hal itu sebagai "perbudakan anak".
Sylwander mendesak penyedia jasa Internet untuk ikut memerangi kejahatan ini. Selain itu, lembaga keuangan, tempat transfer uang, diminta untuk melacak para penjahat dengan mendeteksi pembayaran yang mencurigakan.
Menurut UNICEF, Filipina adalah sumber pornografi anak nomor satu di dunia dan pusat perdagangan perbudakan seksual. Sylwander menggambarkan bagaimana anak-anak berusia 5-6 tahun dipaksa melakukan pertunjukan seks beberapa kali dalam sehari di depan kamera selama satu jam untuk disiarkan secara online.
"Mereka disuruh oleh ibu, ayah, atau kerabat dekat mereka, dan mungkin dilakukan di rumah mereka sendiri," ujar Sylwander. "Ini jelas perbudakan anak-anak karena anak tidak punya pilihan."
Para pedofil lalu mentransfer uang dan memberikan arahan soal apa yang mereka ingin tonton. Pada banyak kasus, anak-anak itu diperkosa oleh orang lain, tapi ada juga kasus di mana orang tua anak-anak itu sendiri yang melakukan pelecehan. Atau di antara sesama anak-anak.
Sylwander mengatakan Filipina menerima 7.000 laporan kejahatan cyber setiap bulan, setengahnya terkait dengan pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak. "Hambatan terbesar kami bukanlah pemerintah atau polisi, tapi bagaimana para penyedia Internet bekerja sama dan membantu melacak serta menghentikan ini," tutur Sylwander dalam wawancara dengan Reuters.