TEMPO.CO, Washington - Pentagon merencanakan memindahkan puluhan tahanan dari penjara militer Teluk Guantanamo, Kuba, ke sedikitnya dua negara.
"Pemindahan pertama diharapkan berlangsung pada beberapa hari mendatang, sedangkan kloter berikutnya akan dilakukan beberapa pekan kemudian," kata pejabat Pentagon yang tak bersedia disebutkan namanya, Rabu 30 Maret 2016.
Pemindahan para tahanan ini merupakan bagian dari tekanan terhadap Presiden Barack Hussein Obama untuk menutup seluruh fasilitas pejara di Teluk Guantanamo sebagaimana pernah disampaikan pada kampanye pemilihan presiden 2008. AS mendapatkan kecamanan dari kelompok hak asasi manusia karena melakukan penyiksaan terhadap tahanan di penjara ini.
Tariq Ba Odah, pria asal Yaman yang melakukan mogok makan dalam waktu lama dan kehilangan separuh berat badannya, di antara tahanan yang akan dipindahkan dari penjara Guantanamo.
Sebelumnya, pengacaa Ba Oda berkali-kali meminta agar kliennya dibebaskan untuk mendapatkan perawatan kesehatan dan alasan kemanusiaan, tetapi Pentagon menjawab bahwa dia mendapatkan perawatan memadai di penjara.
Saat ini ada 91 tahanan di penjara Teluk Guantanamo. Hampir semuanya ditahan tanpa melalui pengadilan selama lebih dari satu dekade. Hal tersebut mengundang kecaman internasional, terutama dari kelompok hak asasi manusia.
"Saya tidak memiliki batas waktu kapan para tahanan itu akan dipindahkan dari Guantanamo," kata Gary Ross, juru bicara Kemeneterian Pertahanan dalam sebuah pernyataan kepada media.
Dia menambahkan, "Meskipun demikian, pemerintah berkomitmen mengurangi jumlah tahanan dan menutup fasilitas penjara secara bertanggung jawab."
Para tahanan Guantanamo berasal dari berbagai negara ketika AS terlibat dalam perang di Irak dan Afganistan menyusul serangan 11 September 2001 di New York dan Washington. Bekas Presiden AS, George W. Bush membuka fasiitas ini sebagai lambang agresifitas.
AL JAZEERA |CHOIRUL AMINUDDIN
Berita terkait
Indonesia Sumbang 1,09 Persen Kasus Covid-19 Dunia
7 Februari 2021
Indonesia saat ini menempati urutan ke-19 kasus sebaran Covid-19 dari 192 negara.
Baca SelengkapnyaOrient Riwu Kore Mengaku Ikut Pilkada Sabu Raijua karena Amanat Orang Tua
6 Februari 2021
Bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Riwu Kore, mengungkapkan alasannya mengikuti pemilihan kepala daerah 2020
Baca SelengkapnyaTidak Lagi Jadi Presiden, Pemakzulan Donald Trump Tak Cukup Kuat
4 Februari 2021
Tim pengacara Donald Trump berkeras Senat tak cukup kuat punya otoritas untuk memakzulkan Trump karena dia sudah meninggalkan jabatan itu.
Baca SelengkapnyaKeluarga Korban Sriwijaya Air SJ 182 Diminta Tak Teken Release And Discharge
3 Februari 2021
Pengacara keluarga korban Lion Air JT 610 meminta ahli waris korban Sriwijaya Air SJ 182 tidak meneken dokumen release and discharge atau R&D.
Baca SelengkapnyaKrisis Semikonduktor, Senator Amerika Desak Gedung Putih Turun Tangan
3 Februari 2021
Pada 2019 grup otomotif menyumbang sekitar sepersepuluh dari pasar semikonduktor senilai 429 miliar dolar Amerika Serikat.
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Longgarkan Aturan soal Imigran Suriah
30 Januari 2021
Imigran dari Suriah mendapat kelonggaran aturan sehingga mereka bisa tinggal di Amerika Serikat dengan aman sampai September 2022.
Baca SelengkapnyaTutorial Membuat Bom Ditemukan di Rumah Pelaku Kerusuhan US Capitol
30 Januari 2021
Tutorial pembuatan bom ditemukan di rumah anggota kelompok ekstremis Proud Boys, Dominic Pezzola, yang didakwa terlibat dalam kerusuhan US Capitol
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Kecam Pembebasan Pembunuh Jurnalis Oleh Pakistan
29 Januari 2021
Pemerintah Amerika Serikat mengecam pembebasan pembunuh jurnalis Wall Street, Journal Daniel Pearl, oleh Mahkamah Agung Pakistan.
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Izinkan Pensiunan Dokter Lakukan Vaksinasi Covid-19
29 Januari 2021
Pemerintah Amerika Serikat kini mengizinkan dokter dan perawat yang sudah pensiun untuk memberikan suntikan vaksin Covid-19
Baca SelengkapnyaJenderal Israel Minta Joe Biden Tidak Bawa AS Kembali Ke Perjanjian Nuklir Iran
27 Januari 2021
Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Aviv Kochavi mengatakan hal yang salah jika AS kembali ke perjanjian nuklir Iran
Baca Selengkapnya