Insiden Natuna, Ujian bagi Soliditas Hubungan RI-Cina
Editor
Natalia Santi
Jumat, 25 Maret 2016 21:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hubungan Indonesia –Cina memanas. Bermula saat Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendeteksi pencurian kapal ikan asing di titik 05°05,886'N. 109°07,046'E, di Laut Cina Selatan yang masuk ke dalam wilayah perairan Natuna, Sabtu, lalu. Meski diberi tembakan peringatan, KM Kway Fey tetap berupaya kabur dengan jalur zigzag hingga terjadi tabrakan.
Tiga awak KP Hiu 11 kemudian melompat ke kapal dan mengamankan delapan anak buah kapal KM Kway Fey dan menarik kapal. Dalam perjalanan, tiba-tiba datanglah kapal coast guard milik pemerintah Cina lalu menabrak kapal Kway Fey yang sedang ditarik. Indonesia memanggil duta besar Cina sebagai protes intervensi itu. Tetapi Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan kapal penjaga pantai hanya melaksanakan tugas menjaga kapal nelayan yang diserang di perairan perikanan tradisional mereka.
Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Arif Havas Oegroseno menilai tindakan yang dilakukan Indonesia terhadap kapal pencuri ikan asal Cina KM Kway Fey sudah normal dan sewajarnya. Menurutnya perlakuan terhadap pelaku pencari ikan secara ilegal dan tidak sah (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF) harus dilakukan melalui proses hukum.
“Terhadap pelaku IUUF prosedur yang dilakukan sudah normal sewajarnya, yaitu melalui due process of law. Tidak semua keputusan pengadilan memuaskan pemerintah Indonesia seperti kasus Hai Fa, tetapi sebagai negara demokrasi, kita harus mengikuti norma dan tata aturan,” kata Havas menjawab pertanyaan Tempo, 25 Maret 2015.
Adapun terkait penabrakan kapal penjaga pantai Cina terhadap kapal Kway Fey, menurut mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri itu, perlu klarifikasi lebih lanjut. “ Tindakan ini melanggar The International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972 yang melarang kapal menabrak secara sengaja,” kata mantan Dubes RI untuk Belgia dan Luksemburg itu.
Meski begitu Indonesia mengharapkan insiden tersebut hanyalah kesalahan di tingkat petugas lapangan dan bukan merupakan desain yang lebih besar. Hal ini mengingat hubungan Indonesia dan Cina adalah kemitraan strategis multidimensi yang harus dijaga.
“Keamanan di kawasan Asia Pasifik jelas memerlukan hubungan bilateral yang kokoh antara berbagai negara penting di kawasan, termasuk Indonesia-Cina, Asean- Cina dan Cina-AS. Peristiwa ini merupakan suatu tes terhadap soliditas hubungan bilateral kedua negara,” kata Havas.
Meskipun Cina mengakui kedaulatan Indonesia atas kepulauan Natuna, menurut Havas, permasalahannya bukan di situ. “Persoalan kasus ini bukan klaim kepemilikan pulau. Memang benar bahwa kedaulatan Indonesia terhadap kepulauan Natuna diakui oleh masyarakat internasional, namun permasalahan kasus ini adalah klaim akan adanya "traditional fishing ground" yang tidak diakui oleh Konstitusi Hukum Laut Internasional Internasional UNCLOS 1982,” kata mantan Presiden Pertemuan UNCLOS tesebut.
Menurut Havas, konsep "tradisional" dalam hukum internasional selalu disikapi dengan sangat hati-hati karena setiap negara bisa saja kemudian melakukan klaim terhadap berbagai hal atas dasar sejarah yang subyektif. “Konsep ‘ground’ juga harus disikapi dengan hati-hati karena tidak ada lokasi yang jelas. Bagi Indonesia dan China sebagai Negara Pihak UNCLOS 1982 sangat penting untuk mematuhi dan melaksanakan isinya sebaik-baiknya. Tanpa menghormati UNCLOS 1982, kawasan Asia Pasifik bisa menjadi kawasan yang tidak aman,” tandasnya.
NATALIA SANTI