TEMPO.CO, Yangon - Presiden terpilih Myanmar, Htin Kyaw, mengumumkan rencananya mewujudkan Kementerian Urusan Etnis untuk menangani konflik di negara itu, terutama di daerah perbatasan yang berpenduduk etnis minoritas.
"Kementerian itu penting untuk masa depan Myanmar, yang membutuhkan perdamaian, pembangunan, dan kelestarian," kata Htin Kyaw, seperti dilansir ABC Online, Senin, 21 Maret 2016.
Htin Kyaw mengambil alih pemerintahan negara Myanmar melalui transformasi dramatis setelah beberapa dekade diperintah junta militer.
Konflik masih terjadi di antara kelompok minoritas etnis yang bersenjata. Sebanyak 240 ribu orang kehilangan tempat tinggal, termasuk di Kachin dan Rakhine, tempat puluhan ribu muslim Rohingya hidup tertindas.
Parlemen baru Myanmar kemarin sepakat mengurangi jumlah departemen pemerintah. Pengurangan 15 kementerian itu diperkirakan menghemat US$ 5 juta (Rp 65,7 miliar). Namun Htin Kyaw menegaskan bahwa tidak ada pegawai negeri sipil yang akan kehilangan pekerjaan.
Dalam pidato pertamanya itu, Htin Kyaw, yang resmi menyandang jabatan presiden pada 1 April mendatang, mengatakan saat ini terlalu banyak kementerian yang secara tidak langsung menyebabkan tumpang-tindih tugas dan wewenang.
Ia berencana menggabungkan beberapa kementerian supaya berkurang dari 36 menjadi 21.
"Saya tidak ada niat mengurangi jumlah PNS. Dengan mengurangi departemen pemerintah, kita dapat menurunkan biaya yang tidak penting dan menghilangkan gaji menteri," tuturnya.
Myanmar diperintah junta militer sejak 1962 dan pemerintah sipil yang didukung militer dari 2011.
Sekitar 240 ribu orang mengungsi akibat kerusuhan dan konflik di Myanmar, terutama di Negara Bagian Kachin utara, tempat pertempuran antara tentara dan pemberontak sedang berlangsung. Dan di Rakhine barat, tempat puluhan ribu muslim Rohingya tetap terjebak di kamp-kamp berikut wabah kekerasan pada 2012.