Tank T-14 Armata merupakan alat perang terbaru Rusia yang dipamerkan pada parade Victory Day di Lapangan Merah, Moskow, Mei 2015. Armata akan menggantikan tank-tank Rusia yang sudah tua, seperti T-72 dan T-80, mungkin juga tank T-90 yang akan ketinggalan zaman. REUTERS/Grigory Dukor
TEMPO.CO, Jakarta - Intelijen Rusia dan Estonia menukar dua orang yang dituduh oleh masing-masing negara menjadi mata-mata bagi yang lain. Ini adalah praktek jarang tapi umum di era Perang Dingin, yang disebut sebagai spy-swap (pertukaran mata-mata). Menurut Joseph Fitsanakis dalam Intelnews.org edisi 28 September 2015, pertukaran berlangsung Sabtu, 26 September 2015, di sebuah jembatan di atas Sungai Piusa, yang merupakan perbatasan Rusia-Estonia, yang memisahkan County Polva Estonia dengan Pskov Oblast Rusia.
Badan Intelijen Federal Rusia (FSB) mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan kepada pemerintah Estonia seorang pria bernama Eston Kohver. Tahun lalu para pejabat Estonia menuduh Moskow menculik Kohver, perwira badan Intelijen Estonia, yang dikenal sebagai Kapo, di sekitar Luhamaa, fasilitas lintas batas di tenggara Estonia. Namun pemerintah Rusia mengatakan bahwa Kohver ditangkap oleh FSB di wilayah Rusia dan ditemukan membawa senjata api, uang tunai, dan peralatan mata-mata "yang berkaitan dengan pengumpulan intelijen".
Kohver ditukar dengan Aleksei Dressen, mantan perwira Kapo Estonia yang ditangkap pada Februari 2012 bersama dengan istrinya, Viktoria Dressen, karena diduga melakukan aksi mata-mata untuk Rusia. Dressens tertangkap membawa dokumen rahasia pemerintah Estonia saat Viktoria berusaha untuk naik pesawat ke Moskow. Aleksei Dressen dijatuhi hukuman 16 tahun penjara, sementara Viktoria Dressen divonis enam tahun penjara karena membocorkan rahasia negara. Media Rusia melaporkan bahwa Dressen diam-diam bekerja untuk kontra intelijen Rusia sejak awal 1990-an.
Segera setelah spy-swap itu, Direktur Kapo Arnold Sinisalu mengatakan dalam konferensi pers bahwa pertukaran itu telah disepakati dengan FSB setelah melalui "negosiasi dalam waktu lama" setelah cukup jelas bahwa kedua belah pihak bersedia untuk menemukan solusi yang cocok atas masalah itu. Kohver, yang dalam konferensi pers itu duduk bersama Sinisalu, mengatakan kepada wartawan bahwa ia merasa "senang kembali ke tanah air".