TEMPO.CO, Sydney - Seorang wanita Australia menuntut partai politik Islam, Hizbut Tahrir, untuk meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar Rp 1,3 miliar kepadanya. Tuntutan tersebut diajukan setelah mantan pembawa berita NT News itu merasa diperlakukan secara tidak adil oleh partai tersebut.
Alison Bevege, wanita itu, mengajukan tuntutan dengan keluhan diskriminasi seksual terhadap partai itu setelah diberi tahu bahwa dia tidak bisa duduk di ruangan bersama kaum pria dalam sebuah pertemuan umum Hizbut Tahrir tahun lalu di Sydney.
Seperti yang dilansir Daily Mail pada 6 Juni 2015, peristiwa tersebut terjadi saat Bevege menghadiri pertemuan itu sebagai penulis lepas pada 10 Oktober 2014. Dia diberi tahu perwakilan Hizbut Tahrir agar duduk di ruangan belakang bersama para wanita lain.
"Ketika saya berjalan ke pintu, perwakilan perempuan dari kelompok itu segera mengarahkan saya ke bagian belakang ruangan. Saya berkata, 'Saya tidak ingin duduk di bagian belakang ruang', saya ingin duduk di depan di mana saya bisa melihat," katanya.
"Ini menjadi jelas bahwa jika saya ingin tetap menghadiri pertemuan itu saya harus duduk di ruangan belakang. Jadi saya duduk di barisan depan bagian belakang," kata dia.
Bevege menilai mengirim seorang wanita ke belakang ruangan itu "sama buruknya seperti mengirim orang berkulit hitam atau gay ke belakang ruang".
"Saya tahu mereka akan memisahkan (kaum wanita dan lelaki), tapi saya tidak berharap mereka akan memaksa saya untuk mematuhinya, karena jelas saya bukan muslim dan itu adalah pertemuan publik," katanya.
Bevege, yang merasa tidak puas diperlakukan demikian, akhirnya mengajukan keluhan kepada Dewan Anti-Diskriminasi lima hari kemudian. Namun, mediasi yang dilakukan Dewan menemui jalan buntu, sehingga akhirnya pada Rabu, 3 Juni 2015, ia membawa kasus ini ke pengadilan. Kasus ini akan disidang pada 15 Juli nanti.
Pemimpin Hizbut Tahrir Ismail al-Wahwah menyatakan Bevege seharusnya tidak memaksakan apa yang dia anggap salah dan benar kepada orang lain.
DAILY MAIL | YON DEMA
Berita terkait
Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI
19 hari lalu
Ada empat akar masalah Papua, yakni sejarah dan status politik, diskriminiasi, kekerasan dan pelanggaran HAM berat, dan kegagalan pembangunan.
Baca SelengkapnyaAsal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme
30 hari lalu
Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap 2 April untuk meningkatkan kesadaran tentang Gangguan Spektrum Autisme (ASD)
Baca SelengkapnyaBegini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang
37 hari lalu
Panji Gumilang dijerat Pasal Penodaan Agama, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP.
Baca SelengkapnyaMangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?
54 hari lalu
Dua dekade RUU Perindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak tidak disahkan. Ini penjelasan mengenai RUU PPRT.
Baca SelengkapnyaInternational Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara
55 hari lalu
Peringatan International Women's Day Jogja 2024, Ketua Divisi Aksi dan Propaganda Srikandi UGM sebut mengusung tema "Mari Kak Rebut Kembali!"
Baca SelengkapnyaTentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer
56 hari lalu
Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan pada Oktober lalu bahwa hampir 43.000 tentara perempuan saat ini bertugas di militer.
Baca SelengkapnyaMalaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO
57 hari lalu
Malaysia memenangkan gugatan di WTO melawan tindakan diskriminasi Uni Eropa terhadap produk biofuel dari minyak sawit.
Baca SelengkapnyaKisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda
19 Februari 2024
Marie Thomas dikenal sebagai dokter perempuan pertama. Ia melalui diskriminasi saat sekolah kedokteran
Baca SelengkapnyaMengenang Gus Dur, Presiden yang Mencabut Inpres Larangan Merayakan Imlek
8 Februari 2024
Presiden Gus Dur mencabut instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pada era Presiden Soeharto yang melarang perayaan Imlek.
Baca SelengkapnyaUniversitas Harvard Dikomplain Diduga Diskriminasi Mahasiswa Muslim
8 Februari 2024
Kementerian Pendidikan Amerika Serikat mengusut komplain bahwa Universitas Harvard terlibat dalam diskriminasi mahasiswa muslim pendukung Palestina.
Baca Selengkapnya