Mural berisi pesan menentang penggunaan bahan bakar dari fosil di Konferensi Perubahan Iklim di Peru. (TEMPO/Shinta Maharani)
TEMPO.CO, Lima - Sekretaris Kelompok Kerja Mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim Lawin Bastian Tobing mengatakan, dalam perhitungan emisi karbon, Indonesia melihat data emisi gas karbon pada 2006-2011.
Ini mengacu pada Nationally Appropriate Mitigation Actions yang dikelola Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas. Sedangkan data Badan Pengelola REDD+ menghitung emisi pada rentang waktu 2000-2012. (Indonesia Dukung Cina Permalukan Amerika Serikat)
Ia mengatakan ihwal tersebut dalam Konferensi Para Pihak atau United Nations Framework Convention on Climate Change ke-20 dan Kyoto Protokol ke-10 di Pentagonito, Distrik San Borja, Provinsi Lima, Peru, yang berlangsung sejak Senin, 1 Desember, hingga Sabtu, 13 Desember 2014, waktu Lima atau Ahad, 14 Desember 2014, waktu Jakarta.
Sektor terbesar penyumbang emisi, ujar Lawin, yakni kehutanan. Menurut dia, tidak mudah menghitung besaran emisi. "Misalnya, melihat berapa luas hutan yang terbakar, kapan terbakar, dan faktor emisinya," tutur Lawin. (Baca: Cina Debat Amerika di Konferensi Perubahan Iklim)
Pria yang juga aktif terlibat di Badan Pengelola REDD+ dan program penghitungan emisi punya Bappenas tersebut mengatakan keduanya menggunakan metode yang sama ketika menghitung emisi. Perbedaannya hanya pada faktor penyebab emisi. (Baca: Sukses Emisi Karbon Pati Dibawa ke Konferensi Peru)
Lawin menyatakan perlu kebijakan yang lebih keras untuk mengatasi emisi gas karbon oleh sektor kehutanan. "Ini penting untuk mengurangi praktek membakar hutan," ujarnya.