Asap membumbung tinggi akibat serangan udara pasukan koalisi di Kobani, perbatasan Suriah-Turki, 20 Oktober 2014. Serangan tersebut untuk membantu pasukan Kurdi yang bertempur dengan ISIS di Kobani. AP/Lefteris Pitarakis
TEMPO.CO, Bagdad - Maraknya bom bunuh diri dan bom mobil di Irak sejak awal bulan September lalu membunuh banyak warga sipil. Sedikitnya 435 orang tewas karena bom tersebut. Serangan seakan mengisyaratkan bahwa ISIS semakin kuat dan menunjukkan kemampuannya dari intensitas bom yang diledakkan.
Namun ahli mengatakan hal lain. Max Abrahms, pakar terorisme dan profesor di Universitas Northeastern, mengatakan bahwa serangan bunuh diri merupakan tindakan keputusasaan.(Baca: Soal ISIS, AS dan Rusia Berbagi Info Intelijen)
Pejuang Syiah didukung oleh pemerintah Irak untuk menjaga Bagdad dari ISIS. ISIS dibatasi untuk masuk Bagdad melalui serangan frontal bahkan dengan pengadaan tank. Politikus senior Amerika Serikat dan para analis militer pun mengatakan ISIS tidak akan mampu mengambil Bagdad. (Baca: ISIS Peringatkan Ancaman Perang Teluk Ketiga)
Setelah pertahanan yang kuat tersebut, kelompok militan Sunni mulai menunjukkan kemampuan untuk melawan pihak pengamanan Bagdad, bahkan sudah membidik warga sipil sebagai korban, tanpa kehilangan pejuang terlatih dan amunisi mereka. Serangan bunuh diri dan bom mobil merupakan taktik yang tidak membutuhkan keahlian khusus maupun amunisi yang berarti. (Baca: PBB Sahkan Resolusi Lawan ISIS)
Serangan terbanyak terjadi di Bagdad pada Senin lalu. Seorang pengebom bunuh diri meledakkan dirinya di luar Masjid Syiah, menewaskan 17 orang. Sedangkan tiga bom mobil meledak di Syiah Kudus, Karbala, yang menewaskan 16 orang. INTAN MAHARANI | INTERNATIONAL BUSINESS TIMES