TEMPO.CO , Jakarta:- Tak lama setelah kematian Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara, diumumkan Senin lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pembicaraan telepon sepakat dengan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak untuk mencermati perkembangan dengan ketat.
Pemerintah Jepang juga siap untuk setiap "perkembangan tak terduga". Militer Korea Selatan langsung bersiaga dan para pakar memperingatkan dalam beberapa hari ke depan menjadi titik balik krusial Utara.
Seoul ikut berbelasungkawa kepada rakyat Korea Selatan, tapi pemerintah menyatakan tak ada delegasi resmi yang akan terbang ke Pyongyang untuk memberikan penghormatan mereka.
Kematian Kim bisa memundurkan langkah-langkah oleh Amerika Serikat dan negara lain, terutama lima negara dari perundingan enam pihak yang mendorong Pyongyang melucuti ambisi senjata nuklirnya.
Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yukiya Amano, seperti dikutip Kyodo News, mengatakan IAEA harus mengerahkan kembali para pengawasnya ke Korea Utara guna membantu denuklirisasi Semenanjung Korea.
Para inspektur PBB diusir dari Korea Utara pada 2009 dan kembalinya mereka bisa sebagai sinyal bahwa Utara bakal serius soal langkah perlucutannya. "Pengerahan kembali ke situs nuklir Yongbyon mutlak diperlukan untuk kemajuan denuklirisasi," ujar Amano.
IAEA memang siap memulai verifikasi aktivitas-aktivitas di Korea Utara secepatnya bila kesepakatan oleh perundingan enam pihak tercapai untuk penggantian Utara menutup program senjata nuklirnya. Amano di Tokyo bertemu dengan Goshi Hosono, menteri yang mengurusi krisis pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang.
Korea Utara memang belum melunakkan militernya. Kantor berita Korea Selatan, Yonhap, melaporkan, Utara tetap melakukan uji tembakan sebuah misil baru berjangkauan 72 mil beberapa jam setelah pengumuman kematian pemimpin mereka Senin lalu.
Selig Harrison, pakar nuklir Amerika Serikat yang pernah tergabung dalam misi IAEA saat menginspeksi fasilitas nuklir Korea Utara pada 2009, di The Telegraph menyebutkan negeri miskin itu telah memproduksi plutonium yang cukup untuk bahan hingga tujuh senjata nuklir.
| Reuters | The Telegraph | AP | The New York Times | Dwi Arjanto