Saling Tembak di Tunisia, Oposisi Setuju Pemerintahan Baru
Senin, 17 Januari 2011 15:33 WIB
Pertempuran bersenjata juga terjadi di Istana Presiden, Bank Sentral, dan kantor Kementerian Dalam Negeri. Saling adu tembak ini sebagai upaya pasukan keamanan negara menghalangai kelompok oposisi masuk ke dalam pemerintahan persatuan nasional.
Dua hari setelah presiden Zine al-Abidine Ben Ali terbang ke Saudi Arabia, tentara berupaya menguasai ibu kota negara sekaligus mengamankan dari kerusuhan yang terus berkecamuk.
Sejumlah pengawal presiden Ben Ali, tentara terlatih, dan penembak jitu nampak menguasai gedung-gedung tinggi di Tunis, gedung Bank Sentral, dan Kementerian Dalam Negeri. Mereka bersiaga berhadapan dengan pasukan angkatan darat yang berada di sepanjang jalan utama Bourguiba. Kejadian itu membuat penduduk sipil kalang kabut menyelamatkan diri dari amuk senjata mereka.
Dini hari tadi, para loyalis presiden menyerbu markas besar partai oposisi PDP. Dalam serbuan itu, dua orang dilaporkan tewas akibat tembakan pasukan angkatan darat, dua orang berpaspor Swedia dan empat pria berpaspor Jerman ditahan polisi karena membawa senjata.
Adu senjata itu berlangsung di tengah pembicaraan antara para pemimpin oposisi dengan partai berkuasa untuk membicarakan pembentukan pemerintah bersatu yang akan menyiapkan pemilihan umum menggantikan Ben Ali. Gagasan tersebut disambut baik partai oposisi.
"Kami setuju dengan prinsip-prinsip yang menjadi fokus utama pemerintahan baru," kata Ahmed Ibrahim, ketua Partai Ettajdid.
Menurut informasi yang berkembang, Ahad (16/1) malam waktu setempat, tiga pemimpin oposisi akan ambil bagian dalam pemerintahan baru. Najib Chebbi, pendiri PDP, menempati pos Menteri Pembangunan Regional.
Hingga saat ini masih terjadi silang sengketa tantang rencana pemilihan umum untuk memilih pemimpin yang baru. Presiden sementara Fouad Mebazza mengumumkan bahwa pemilihan umum akan diselenggarakan 60 hari ke depan sejak dia memegang tampuk kepemimpinan. Sedangkan oposisi menuntut agar pesta demokrasi diselenggarakan dengan cara-cara yang bebas dan jujur.
Ben Ali telah melariakn diri ke Saudi Arabia setelah memimpin Tunisia selama 23 tahun. Ia merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah dan dikenal sebagai presiden otoriter dan korup.
Para aktivis Islam memperingatkan rakyat Tunia bahwa pemerintahan baru, sepeninggal Ben Ali, tidak bisa dijadikan jaminan memimpin negeri itu memberikan demokrasi.
"Rakyat harus diberikan kebebasan menyusulnya jatuhnya kehidupan politik yang diktator," ujar Tariq Ramadan, pemimpin ilmuwan Islam.
TELEGRAPH | CHOIRUL