Yahya Sinwar, Sosok Pemimpin yang Tak Pernah Takut Mati
Editor
Ida Rosdalina
Jumat, 18 Oktober 2024 20:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah video diedarkan Israel untuk memperlihatkan detik-detik terakhir Yahya Sinwar sebelum menemui ajalnya. Video ini mungkin dibuat untuk memperlihatkan keberhasilan pasukan Israel dalam melenyapkan Sinwar.
Namun, yang terlihat dalam video tersebut sesungguhnya seorang pejuang yang melawan dan pantang menyerah di tangan musuhnya hingga napas terakhir. Sinwar memperlihatkan resistensi seorang pejuang. Bahkan pasukan Israel yang melumpuhkannya dengan peluru tank dan sebuah rudal pun tidak berani masuk ke dalam gedung tempat Sinwar bertahan. Mereka merekam gambar dengan menggunakan drone untuk memastikan ia tak lagi bisa melawan.
Dalam video itu, orang-orang Palestina melihat seorang pejuang yang melawan sampai akhir. Mereka melihat seorang pemimpin yang tidak berada di dalam terowongan, tidak dibunuh saat bersembunyi. Sinwar menghadapi kematiannya dengan sebuah senjata di tangan.
Dunia melihat, suka atau tidak suka, Sinwar sebagai seorang pemimpin yang gagah berani menatap kematiannya tanpa dilindungi perisai manusia, seperti yang selama ini dituduhkan Israel.
Siapa Yahya Sinwar?
Yahya Sinwar dilahirkan di kamp pengungsi Khan Younis di Gaza selatan pada 1962. Keluarganya adalah pengungsi dari Majdal Askalan, atau yang kemudian menjadi Ashkelon, setelah berdirinya Israel pada 1948.
Sinwar menghabiskan 22 tahun hidupnya di penjara Israel, karena dituduh merencanakan penculikan dan pembunuhan dua tentara Israel pada 1988. Ia dibebaskan pada 2011 sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan.
Sebuah penilaian pemerintah Israel tentang tahun-tahun penahanannya menggambarkannya sebagai orang yang "kejam" dan "kuat".
Dia menggunakan waktunya di penjara untuk menjadi fasih berbahasa Ibrani.
Sinwar menggantikan Ismail Haniyeh sebagai pemimpin Hamas di Gaza pada tahun 2017. Dia menjadi pemimpin kelompok tersebut setelah Israel membunuh Haniyeh pada bulan Juli.
Setelah serangan 7 Oktober di Israel selatan, yang dituduhkan sebagai dalang serangan tersebut, militer Israel menggambarkannya sebagai "orang yang sudah mati".
<!--more-->
Dari Kain Karung Jadi Pemimpin
Sebelum perang, Yahya Sinwar, terkadang menceritakan kehidupan awalnya di Gaza selama puluhan tahun pendudukan Israel, dan pernah mengatakan bahwa ibunya membuat pakaian dari karung-karung bantuan pangan PBB yang kosong, demikian menurut penduduk Gaza, Wissam Ibrahim, yang pernah bertemu dengannya.
Dalam sebuah novel semi-autobiografi yang ditulisnya di penjara, Sinwar menggambarkan adegan-adegan tentara yang meratakan rumah-rumah warga Palestina, "seperti monster yang meremukkan tulang-tulang mangsanya," sebelum Israel menarik diri dari Gaza pada tahun 2005.
Sebagai seorang penegak hukum yang kejam yang ditugaskan untuk menghukum orang-orang Palestina yang dicurigai memberikan informasi untuk Israel, Sinwar kemudian membuat namanya dikenal sebagai seorang pemimpin penjara, muncul sebagai pahlawan jalanan dari hukuman 22 tahun penjara Israel karena mendalangi penculikan dan pembunuhan dua tentara Israel dan empat orang Palestina.
Dia kemudian dengan cepat naik ke puncak jajaran Hamas.
Dia sangat memahami kesulitan warga Gaza
Pemahamannya tentang kesulitan sehari-hari dan realitas brutal di Gaza diterima dengan baik oleh warga Gaza dan membuat orang merasa nyaman, kata empat wartawan dan tiga pejabat Hamas, terlepas dari reputasinya yang menakutkan dan kemarahannya yang meledak-ledak.
Sinwar dianggap oleh para pejabat Arab dan Palestina sebagai arsitek strategi dan kemampuan militer Hamas, yang didukung oleh hubungannya yang kuat dengan Iran, yang ia kunjungi pada tahun 2012.
Sebelum mendalangi serangan 7 Oktober, Sinwar tidak merahasiakan keinginannya untuk menyerang musuhnya dengan keras.
Dalam pidatonya setahun sebelumnya, ia bersumpah untuk mengirim banyak pesawat tempur dan roket ke Israel, mengisyaratkan perang yang akan menyatukan dunia untuk mendirikan negara Palestina di tanah yang diduduki Israel pada 1967, atau membuat negara Yahudi itu terisolasi di panggung global.
Pada saat pidato tersebut, Sinwar dan Deif telah menyusun rencana rahasia untuk penyerangan tersebut. Mereka bahkan melakukan latihan di depan umum yang mensimulasikan serangan semacam itu.
Cita-citanya belum terpenuhi. Meskipun isu ini sekali lagi berada di puncak agenda global, prospek sebuah negara Palestina masih jauh dari harapan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan tegas menolak rencana pascaperang untuk Gaza yang akan mencakup jadwal yang pasti untuk pembentukan negara Palestina.
<!--more-->
Panutan para tahanan bahkan yang non-muslim
Sinwar ditangkap pada 1988 dan dijatuhi hukuman empat kali penjara seumur hidup, karena dituduh mendalangi penculikan dan pembunuhan terhadap dua tentara Israel dan empat orang yang dicurigai sebagai informan Palestina.
Nabih Awadah, seorang mantan militan Komunis Lebanon yang pernah dipenjara bersama Sinwar di Ashkelon antara 1991-1995, mengatakan bahwa pemimpin Hamas tersebut memandang perjanjian damai Oslo 1993 antara Israel dan Otoritas Palestina sebagai "bencana" dan tipu muslihat Israel, yang menurutnya hanya akan melepaskan tanah Palestina "secara paksa, bukan melalui perundingan."
Menyebutnya "keras kepala dan dogmatis", Awadah mengatakan bahwa Sinwar akan berbinar-binar gembira setiap kali ia mendengar serangan terhadap warga Israel oleh Hamas atau kelompok Hizbullah Lebanon. Baginya, konfrontasi militer adalah satu-satunya jalan "untuk membebaskan Palestina" dari pendudukan Israel.
Awadah mengatakan bahwa Sinwar adalah "model yang berpengaruh bagi semua tahanan, bahkan bagi mereka yang tidak beragama Islam."
Kemampuannya mengintimidasi dan memerintah
Michael Koubi, seorang mantan pejabat di badan keamanan Shin Bet Israel yang menginterogasi Sinwar selama 180 jam di penjara, mengatakan bahwa Sinwar jelas menonjol karena kemampuannya mengintimidasi dan memerintah.
Koubi pernah bertanya kepada Sinwar tersebut, yang saat itu berusia 28 atau 29 tahun, mengapa dia belum menikah. "Dia mengatakan kepada saya bahwa Hamas adalah istri saya, Hamas adalah anak saya. Hamas bagi saya adalah segalanya." Sinwar menikah setelah dibebaskan dari penjara pada 2011 dan memiliki tiga orang anak.
Di penjara, dia terus mengejar mata-mata Palestina, kata Awadah, menggemakan laporan dari para interogator Shin Bet.
Naluri dan kehati-hatiannya yang tajam memungkinkannya untuk mengidentifikasi dan mengekspos informan Shin Bet yang disusupkan ke dalam penjara, kata Awadah.
Dia mengatakan bahwa kepemimpinan Sinwar sangat penting selama mogok makan pada tahun 1992, di mana dia memimpin lebih dari 1.000 tahanan untuk bertahan hidup hanya dengan air dan garam. Sinwar bernegosiasi dengan pihak berwenang penjara dan menolak untuk menerima konsesi parsial.
Awadah mengatakan bahwa Sinwar sering mengenang bahwa Ashkelon, tempat mereka dipenjara bersama, adalah kampung halaman leluhur keluarganya.
Ketika bermain tenis meja di halaman penjara Ashkelon, yang sekarang bernama Israel, Sinwar sering kali bermain tanpa alas kaki, dan mengatakan bahwa ia ingin kakinya menyentuh tanah Palestina.
"Sinwar sering mengatakan kepada kami: 'Saya tidak berada di penjara, saya berada di tanah saya. Saya bebas di sini, di negara saya."
Setelah kematiannya, sebuah video lama dari konferensi pers pada Mei 2021 beredar lagi. Dalam video tersebut, Yahya Sinwar mengatakan, “Hadiah terbesar yang bisa diberikan musuh dan penjajah kepada saya adalah membunuh saya."
Sinwar mengatakan bahwa ia lebih suka mati sebagai "syuhada" di tangan pasukan Israel daripada "mati dalam kematian yang tidak berarti."
REUTERS | AL JAZEERA
Pilihan Editor: Yahya Sinwar Dibunuh, Hizbullah akan Bawa Perang ke Fase Baru