Fakta-fakta Kerusuhan di Bangladesh Akibat Demo Kuota PNS
Editor
Dewi Rina Cahyani
Minggu, 21 Juli 2024 10:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Demonstrasi mahasiswa di Bangladesh berujung ricuh. Untuk meredam protes, negara berpenduduk mayoritas Islam di Asia ini mengumumkan jam malam yang akan berlaku mulai Sabtu. Pemerintah juga memadamkan listrik di negara berpenduduk 170 juta jiwa itu sementara bentrokan antara mahasiswa dan pasukan keamanan meningkat.
Unjuk rasa mahasiswa di Dhaka itu telah dilarang. Pada Kamis, gedung-gedung dibakar. Sedikitnya 19 orang tewas dalam kekerasan hingga Jumat pekan lalu, akibat protes mahasiswa tentang kuota pegawai negeri atau PNS.
Berikut adalah fakta-fakta terkait unjuk rasa di Bangladesh.
Situasi Terkini di Bangladesh
Protes dimulai beberapa minggu lalu, namun kekerasan meningkat pada awal minggu ini setelah pengunjuk rasa mahasiswa diserang oleh aktivis Liga Chhatra Bangladesh, sayap mahasiswa partai Liga Awami Perdana Menteri Sheikh Hasina.
Setelah para pengunjuk rasa menolak untuk mundur, pemerintah pada Rabu memerintahkan penutupan semua universitas. Namun, para mahasiswa menolak untuk meninggalkan kampus dalam ketegangan yang terjadi.
Pada Kamis ketegangan itu meledak menjadi kekerasan yang mematikan. Ribuan mahasiswa bentrok dengan polisi bersenjata di Dhaka. Selama bentrokan ini, 11 orang tewas, termasuk seorang sopir bus dan seorang mahasiswa. Dalam sepekan terakhir, korban tewas diperkirakan mencapai 39 orang. Media lokal mengatakan sedikitnya 28 orang tewas hingga hari Kamis.
Pada Jumat, kekerasan terus berlanjut dengan pemblokiran internet secara menyeluruh. Menjelang malam, pemerintah mengumumkan jam malam akan diberlakukan mulai tengah malam, sehingga unjuk rasa menjadi tindakan ilegal.
Pihak berwenang memutus layanan seluler dan internet untuk meredakan kerusuhan pada hari Kamis. Menurut lembaga pengawas NetBlocks, negara Asia Selatan tersebut telah menghadapi pemadaman internet total di seluruh negeri. Polisi mengeluarkan pernyataan yang menuduh pengunjuk rasa membakar dan merusak gedung-gedung, termasuk kantor polisi dan pemerintah. Termasuk kantor pusat penyiaran pemerintah Bangladesh Television di Dhaka, yang masih offline.
<!--more-->
Awal Mula Protes Mahasiswa tentang sistem kuota PNS Bangladesh
Mahasiswa di seluruh Bangladesh menuntut agar sistem kuota pekerjaan direformasi. Di bawah sistem tersebut, lebih dari setengah dari pekerjaan pemerintah yang banyak dicari disediakan untuk mereka.
Protes meletus setelah tanggal 5 Juni ketika Pengadilan Tinggi memerintahkan pemulihan kuota 30 persen untuk keturunan veteran yang berpartisipasi dalam perang kemerdekaan dari Pakistan pada tahun 1971. Sistem kuota telah berlaku sejak 1972 dan dihapuskan oleh Hasina pada tahun 2018 sebagai akibat dari protes mahasiswa sebelum pengadilan memberlakukannya kembali pada bulan Juni.
Para mahasiswa berpendapat bahwa pekerjaan yang disediakan untuk para veteran menguntungkan sekelompok kecil orang yang berafiliasi dengan Liga Awami, yang memimpin gerakan kemerdekaan. Pengangguran merajalela di Bangladesh di mana 40 persen anak mudanya tidak bekerja atau mengenyam pendidikan di universitas.
Pemerintah Banding ke Mahkamah Agung Soal Kuota PNS
Mahkamah Agung menangguhkan penerapan kembali kuota oleh Pengadilan Tinggi setelah pemerintah mengajukan banding. Mahkamah Agung telah menetapkan tanggal 7 Agustus sebagai tanggal sidang keberatan pemerintah terhadap putusan Pengadilan Tinggi.
Pemerintah Hasina mengatakan setuju dengan mahasiswa untuk menghapus kuota. Namun, mahasiswa yang berunjuk rasa menuntut amandemen hukum terhadap kuota tersebut. Mereka mengatakan tidak percaya pada pemerintah.
<!--more-->
Tanggapan PM Bangladesh Hasina
Pada hari Rabu, Hasina meminta para mahasiswa sabar dan menunggu keputusan Mahkamah Agung. Pada hari yang sama, Perdana Menteri Hasina juga mengumumkan penyelidikan yudisial untuk menyelidiki pembunuhan yang telah terjadi.
Pada hari Minggu, Hasina menyiratkan bahwa para pengunjuk rasa adalah "Razakar", istilah yang menyinggung bagi mereka yang bekerja sama dengan Pakistan selama perang tahun 1971. Perbandingan itu semakin memicu kemarahan dari para pengunjuk rasa.
Tanggapan Dunia Internasional
Pada hari Senin, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matt Miller mengkritik kekerasan terhadap pengunjuk rasa. “Kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai merupakan dasar penting bagi demokrasi yang berkembang, dan kami mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang damai,” kata Miller. Departemen Luar Negeri sejak saat itu menegaskan kembali keprihatinannya terhadap kekerasan di Bangladesh.
Kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres telah menyerukan agar semua pihak menahan diri. "Kami menyerukan kepada otoritas Bangladesh untuk bekerja sama dengan penduduk mudanya, menemukan solusi untuk tantangan yang sedang berlangsung dan mengkatalisasi energi mereka menuju pertumbuhan dan pembangunan negara," ujar juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Pada hari Rabu, Amnesty International mengecam pihak berwenang di Bangladesh. “Pihak berwenang Bangladesh menggunakan kekerasan yang melanggar hukum terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa dan gagal menjamin perlindungan mereka,” kata kelompok hak asasi manusia internasional tersebut.
“Amnesty International mengutuk keras pembunuhan mahasiswa Abu Sayed dan serangan terhadap pengunjuk rasa reformasi kuota di seluruh negeri,” kata Taqbir Huda, peneliti regional untuk Asia Selatan di Amnesty International.
AL JAZEERA
Pilihan editor: Orang Indonesia Dirikan Warkop di Swiss, Obati Rindu Kopi dari Tanah Air