Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

Reporter

Tempo.co

Minggu, 17 Maret 2024 12:05 WIB

acara press briefing bertajuk 'Deep Blue Scars Environmental Threats to the South China Sea' yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Jumat 15 Maret 2024, di Jakarta. Sumber: dokumen IOJI

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prétat mengingatkan ekosistem laut di Laut Cina Selatan, memprihatinkan. Banyak pembahasan soal keamanan atau ancaman keamanan di Laut Cina Selatan, namun sedikit yang perhatian pada lingkungan laut dan bagaimana melindungi orang-orang yang hidupnya bergantung pada wilayah laut yang dipersengketakan itu.

Dalam acara press briefing bertajuk 'Deep Blue Scars Environmental Threats to the South China Sea' yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Jumat 15 Maret 2024, di Jakarta, disampaikan ada tiga masalah terbesar di Laut Cina Selatan. Pertama pembangunan pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan yang dilakukan beberapa negara bersengketa. Pembangunan ini merusak ekosistem laut karena mengeruk sebagian besar dari terumbu karang (coral reef) hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar.

Kedua, pengambilan giant clams di Laut Cina Selatan secara besar-besaran. Di Cina, giant clams harganya sangat mahal. Giant clams seharusnya diambil di area permukaan saja, namun yang terjadi di Laut Cina Selatan, pengambilan giant clams sampai dikeruk sehingga menimbulkan banyak baret (scars) di dareah coastal, dan membahayakan lingkungan laut.

Ketiga, aktivitas yang mengganggu seperti penangkapan ikan berlebihan atau penangkapan ikan secara ilegal. Aktvitas memancing di Laut Cina Selatan baru naik pada 1980 atau ketika Beijing memberi subsidi perikanan sehingga semakin banyak nelayan Cina mencari ikan di Laut Cina Selatan. Stok ikan di seluruh dunia sudah mulai turun sejak 1990-an dan sekarang untuk mendapatkan ikan usaha yang dilakukan para nelayan harus sampai dua kali lipat.

"Ada konsekuensi dari sengketa itu dan penangkapan ikan besar-besaran oleh nelayan Cina. Konsekuensinya yakni kerusakan pada terumbu karang. Lingkungan bawah laut membutuhkan waktu untuk pemulihan dan tumbuh kembali hingga puluhan tahun," kata Harrison.

Advertising
Advertising

Menurut Harrison, kerusakan pada terumbu karang di Laut Cina Selatan bisa jadi faktanya lebih buruk dari temuan riset yang dilakukan pihaknya. Sebab terumbu karang yang ada di bawah laut tidak bisa terpotret lewat satelit.

Harrison prihatin karena meski teknologi penangkapan ikan meningkat, tetapi kerusakan ekosistem di Laut Cina Selatan tetap tinggi. Laut Cina Selatan sangat bergantung pada terumbu karang, bahkan ada beberapa spesies terumbu karang di sana, dan ada marine life yang bergantung pada terumbu karang. Dia mengingatkan jika masalah lingkungan ini tidak segera diatasi, maka lingkungan laut di Laut Cina Selatan akan tertinggal dibanding lingkungan laut yang lain, yang bahkan pada akhirnya bisa lumpuh.

"Perubahan iklim juga tentang perlindungan pada terumbu karang sehingga segala aktivitas yang merusak harus dihentikan.Keberadaan terumbu karang di Laut Cina Selatan adalah salah satu yang terkaya di dunia. Jadi secara logika, kerusakan terumbu karang di Laut Cina Selatan mungkin yang paling parah," ujarnya.

Harrison menunjuk pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem laut di Laut Cina Selatan adalah negara-negara yang terlibat dalam sengketa, di antaranya Beijing dan Hanoi.

"Mereka tidak tahu harga yang harus dibayar dengan rusaknya ekosistem di Laut Cina Selatan. Kalau kita bisa melakukan riset soal betapa sehatnya ekosistem di Laut Cina Selatan dulu dan seberapa buruk kerusakan yang ditimbulkan saat ini, diharapkan riset itu bisa menggedor kepedulian mereka (negara bersengketa)," kata Harrison.

Riset Asia Maritime Transparency Initiative CSIS yang dilakukan selama satu tahun menemukan ada 4 ribu terumbu karang di Laut Cina Selatan yang dirusak oleh Cina sebagai dampak pembangunan pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di Laut Cina Selatan.

Sedangkan Andreas Aditya Salim, Penasehat Senior bidang Keamanan Laut dari Indonesia Ocean Justice Initiative, mengatakan ada tiga lembaga lembaga regional perikanan di Laut Cina Selatan yaitu WCPFC (Western & Central Pacific Fisheries Commission), APFIC (Asia Pacific Fishery Commission) dan SEAFDEC (Southeast Asian Fisheries Development Center). Dari total tiga lembaga itu, APFIC dan SEAFDEC berfungsi sebagai advisory dan WCPFC memiliki fungsi manajemen. Namun Laut Cina Selatan dikecualikan meskipun area of competence WCPFC meliputi Laut Cina Selatan.

Di luar dari konteks perikanan, tidak ada lembaga yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan perlindungan lingkungan laut di Laut Cina Selatan. Negara-negara yang merupakan anggota ASEAN dan Cina masih dalam proses penyusunan CoC. Belum diketahui pasti kapan dokumen ini akan rampung.

Adapun ASEAN Centre for Biodiversity (ACB) fokus kepada biodiversity yang berada di dalam wilayah yurisdiksi masing-masing negara ASEAN. Sebab fokus ACB adalah pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD) yang ruang lingkupnya adalah biodiversity within national jurisdiction.

Menurut Andreas, seluruh negara diharapkan mau mengakui kewajiban perlindungan lingkungan atau dikenal sebagai erga omnes obligation dalam hukum internasional. Ini berarti, perlindungan lingkungan sama pentingnya dengan perlindungan HAM. Negara-negara yang tidak menjadi korban perusakan lingkungan dapat meminta pertanggungjawaban ke Cina atas tindakan yang dilakukannya di Laut Cina Selatan (invocation of responsibility by a State other than an injured State sesuai pasal 48 dari Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts) dan/atau mengambil langkah-langkah tertentu untuk menekan Cina agar menghentikan aktivitasnya di Laut Cina Selatan yang sesuai pasal 54 dari Responsibility of States for Internationally Wrongful
Acts.

Pilihan editor: Australia Sebut ASEAN Hadapi Destabilisasi di Kawasan

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini

Catatan redaksi : paragraf terakhir berita ini mengalami koreksi pada Selasa dini hari, 19 Maret 2024, dengan menambahkan keterangan lebih detail sehingga memperdalam pemahaman para pembaca. Sebelumnya tertulis ; ada tiga lembaga yang mengurusi Laut Cina Selatan, sayang fungsinya hanya sebagai advisory, bukan untuk mengatasi bagimana mengatasi stok ikan yang semakin berkurang. Dia pun prihatin karena CoC Laut Cina Selatan sudah bertahun-tahun dinegosiasikan, namun belum ada kesimpulannya. "Ini kewajiban kita pada dunia, bukan pada individu," kata Andreas.

Berita terkait

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

2 hari lalu

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

Kawasan Wallacea seluas 347 ribu kilometer persegi diisi 10 ribu spesies tumbuhan. Sebagian kecil dari jumlah tersebut sudah terancam punah.

Baca Selengkapnya

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

7 hari lalu

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

Efek polusi udara rumah tangga baru terlihat dalam jangka waktu relatif lama.

Baca Selengkapnya

Filipina Salahkan Beijing karena Memancing Ketegangan di Laut Cina Selatan

7 hari lalu

Filipina Salahkan Beijing karena Memancing Ketegangan di Laut Cina Selatan

Manila menuduh penjaga pantai Cina telah memancing naiknya ketegangan di Laut Cina Selatan setelah dua kapalnya rusak ditembak meriam air

Baca Selengkapnya

Filipina Pastikan Belum Ada Kata Sepakat dengan Beijing soal Laut Cina Selatan

11 hari lalu

Filipina Pastikan Belum Ada Kata Sepakat dengan Beijing soal Laut Cina Selatan

Filipina menyangkal klaim Beijing yang menyebut kedua negara telah mencapai kata sepakat terkait sengketa Laut Cina Selatan

Baca Selengkapnya

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

12 hari lalu

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Baca Selengkapnya

Di Beijing, Blinken Sampaikan Kekhawatiran AS tentang Dukungan Cina terhadap Rusia

12 hari lalu

Di Beijing, Blinken Sampaikan Kekhawatiran AS tentang Dukungan Cina terhadap Rusia

Menlu AS, Antony Blinken, bertemu dengan timpalannya dari Cina, Wang Yi, untuk membicarakan banyak hal, termasuk hubungan Cina-Rusia.

Baca Selengkapnya

Pendemo Sengketa Pilres 2024 Terobos Halaman Kantor Kemenparekraf agar Bisa Salat Duhur

16 hari lalu

Pendemo Sengketa Pilres 2024 Terobos Halaman Kantor Kemenparekraf agar Bisa Salat Duhur

Terobos kantor Kemenparekraf, massa yang demo berharap bisa salat duhur.

Baca Selengkapnya

Sidang Putusan Sengketa Pilpres 2024, Sebanyak 7.783 Personel Gabungan Berjaga di MK

17 hari lalu

Sidang Putusan Sengketa Pilpres 2024, Sebanyak 7.783 Personel Gabungan Berjaga di MK

7.000 lebih personel gabungan Polri-TNI berjaga di MK pada hari ini.

Baca Selengkapnya

Polisi Terapkan Rekayasa Lalu Lintas di Sekitar Gedung MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024

17 hari lalu

Polisi Terapkan Rekayasa Lalu Lintas di Sekitar Gedung MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres 2024

Rekayasa lalu lintas di sekitar gedung MK berlangsung situasional bergantung kondisi pendemo.

Baca Selengkapnya

Melawat ke Cina, Menlu AS Bahas Dukungan Beijing untuk Industri Pertahanan Rusia

17 hari lalu

Melawat ke Cina, Menlu AS Bahas Dukungan Beijing untuk Industri Pertahanan Rusia

Menlu AS Antony Blinken juga akan membahas sejumlah isu dalam lawatan ke Cina, termasuk Laut Cina Selatan dan konflik Timur Tengah

Baca Selengkapnya