Pekerja Migran Meninggal di Korea Selatan, Butuh Ratusan Juta untuk RS dan Pulangkan Jenazah
Reporter
Nabiila Azzahra
Editor
Yudono Yanuar
Kamis, 21 September 2023 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pekerja migran Indonesia, Sofiyatun, meninggal karena pendarahan otak hari Senin, 18 September 2023, setelah belum lama bekerja di Korea Selatan. Jenazahnya belum dipulangkan ke Tanah Air karena membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Orang-orang terdekatnya pun tengah menggalang dana agar almarhumah bisa pulang.
Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI Seoul turut berupaya menutup biaya rumah sakit dan pemulangan jenazah Sofiyatun. Kondisi kesehatannya menurun di hari pertama kerja di sana, saat asuransinya belum diurus oleh perusahaan yang mempekerjakannya.
Menurut Atase Ketenagakerjaan KBRI Seoul, Yessie Kualasari, seluruh biaya akan ditanggung oleh perusahaan dan asuransi jika pekerja meninggal karena kecelakaan kerja. Namun bagi Sofiyatun, yang meninggal karena sakit, proses pelunasan biaya perlu melalui proses panjang yang sedang diusahakan banyak pihak.
Kronologi
Sofiyatun berangkat ke Korea Selatan pada 29 Agustus 2023 lalu, dan tiba keesokan harinya di kota Hwaseong. Dia segera dijemput oleh majikannya pada 1 September, dan mulai bekerja pada 2 September di kota Ansan.
Perempuan kelahiran 1996 ini adalah seorang pekerja migran yang dikirim untuk bekerja melalui skema penempatan pemerintah atau Government to Government (G2G). Proses perekrutan hingga pemberangkatan semuanya dilakukan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI).
Di hari pertama bekerja, Sofiyatun pingsan, kemudian dilarikan ke klinik terdekat dan mendapat pengobatan. Dia pun tidak bisa lanjut bekerja, sehingga beristirahat di asrama perusahaan. Ketika ditemukan bahwa kondisinya serius, dia dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.
Yessie menjelaskan bahwa Sofiyatun mengalami kondisi pansitopenia, yaitu ketika sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit berada di bawah normal. Trombosit yang seharusnya membekukan darah tidak ada dalam sistem tubuhnya, sehingga terjadi pendarahan masif. Dokter bedah saraf pun disebut tidak bisa melakukan operasi, karena akan lebih membahayakan.
“Kami diminta menyampaikan ke keluarga. Kami lakukan Zoom dengan keluarga dan dokter, lalu kami sampaikan dia dalam keadaan koma, pendarahan otak, dan tidak bisa dilakukan operasi. Hanya dipasang life support (bantuan hidup),” kata Yessie kepada Tempo, Rabu, 20 September 2023.
Pada Senin siang, KBRI Seoul dibantu oleh penerjemah dari pusat dukungan untuk pekerja asing, serta teman yang dikuasakan oleh keluarga untuk mengurus perihal rumah sakit. Mereka diminta datang ke rumah sakit saat kondisi Sofiyatun memburuk siang itu, dan keluarga kembali dihubungi untuk diberi tahu bahwa fungsi otak Sofiyatun sudah berhenti.
Harapan hidupnya sangat kecil, dan hal itu mereka sampaikan pada keluarga Sofiyatun secara virtual.
“Dokter minta keluarga memperbolehkan life support dihentikan. Keluarga akhirnya mengikhlaskan dan dimulai secara alamiah, dalam artian dikurangi dosis obatnya perlahan-lahan, dan akhirnya di Senin malam pukul 20.30 dinyatakan meninggal,” kata Yessie.
Berikutnya: Butuh biaya ratusan juta