Diancam dan Diintimidasi, Nasib Wartawan dalam Konflik Sudan
Reporter
Tempo.co
Editor
Ida Rosdalina
Rabu, 17 Mei 2023 18:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Mohi el-deen Jibril mengecek teleponnya 11 Mei, ia melihat namanya ada dalam daftar orang-orang yang dituduh mengkhianati Pasukan Bersenjata Sudan (SAF) dan mendukung milisi Rapid Support Forces (RSF). Ia langsung berpikir untuk meninggalkan negerinya yang terkoyak perang.
“Tujuh wartawan ada dalam daftar itu, tetapi saya satu-satunya yang masih di Sudan,” kata Jibril, 48 tahun, kepada Al Jazeera. “Sejak saat itu saya menerima ancaman dari banyak orang. Dua [menulis kepada saya di WhatsApp] dan mengatakan bahwa setelah tentara membunuh RSF, selanjutnya mereka akan memburu saya.”
Sejak pertempuran meletus di Sudan antara militer Sudan dan milisi RSF bulan lalu, pendukung dari kedua belah pihak telah mengancam wartawan karena mengkritik pelanggaran hak asasi manusia oleh kedua belah pihak, menurut Sindikat Jurnalis Sudan.
Nasib wartawan di tengah konflik Sudan menjadi tak menentu. Jumlah wartawan yang menjadi sasaran dan diintimidasi memang tak diketahui, tetapi Al Jazeera mengidentifikasi enam orang yang diancam bahwa mereka akan dilukai atau dibunuh jika mereka terus melaporkan pelanggaran-pelanggaran.
Banyak yang lain muncul dalam daftar yang beredar di media sosial, di mana mereka yang disebutkan dituduh mengkhianati Sudan dalam upaya nyata untuk menghasut kekerasan terhadap mereka. Daftar yang mencantumkan nama Jibril dibagikan di grup WhatsApp pribadi untuk jurnalis Sudan, tetapi dia kemudian menemukannya di Facebook juga.
Sebagai seorang reporter televisi veteran, Jibril kritis terhadap tentara karena menggagalkan aspirasi rakyat untuk demokrasi dengan memelopori kudeta pada Oktober 2021. Sekarang, dia khawatir dia bisa dibunuh.
“Saya tidak mengambil posisi apa pun dalam perang, tidak mendukung RSF atau tentara,” kata Jibril. “Tetapi orang-orang yang mengancam saya terus mengatakan bahwa saya harus mendukung tentara.”
Beberapa jurnalis juga mengatakan kepada Al Jazeera bahwa anggota Partai Kongres Nasional (NCP), yang terkait dengan gerakan Islam politik di Sudan dan mantan pemimpin otoriter Omar al-Bashir, terlibat mengintimidasi jurnalis.
Mereka mengklaim bahwa siapa saja yang kelihatan netral berarti melawan tentara dan mendukung RSF.
“Saya tidak kenal beberapa dari orang yang mengancam saya, tetapi yang lain saya kenali sebagai sisa-sisa dari rezim al-Bashir,” kata Jibril.
Jurnalis lain, yang meminta Al Jazeera untuk tidak mengungkap namanya karena takut akan tindakan balasan, mengatakan ia mengkritik RSF dalam sebuah grup WhatsApp pribadi untuk pekerja media Sudan setelah melaporkan bahwa milisi menyerbu dan menjarah rumah-rumah dan memperkosa perempuan-perempuan.
Satu anggota di kelompok itu yang mendukung RSF kemudian mengiriminya sebuah pesan tak menyenangkan: “Ia mengatakan, ‘Silakan dan terus berbicara. Saya akan menunggumu. Saya akan menunggu,” katanya kepada Al Jazeera.
“Ancaman-ancaman itu datang dari kedua belah pihak. Para pendukung tentara membuat telepon ancaman dan mengirim pesan-pesan kepada wartawan bahwa mereka dianggap pro-RSF dan RSF menelepon orang-orang yang mereka pikir pro-tentara,” kata Abdelmoneim Abu Idriss, ketua terpilih sindikat jurnalis itu.
<!--more-->
Bertikai tetapi Bertindak Selaras
Kholood Khair, seorang pakar dari Sudan dan direktur pendiri wadah pemikir Confluence Advisory, menambahkan bahwa kedua jenderal sangat jelas selaras dalam menekan kebebasan berbicara.
“Mereka tidak hanya bertentangan satu sama lain … tetapi mereka sangat selaras dan selalu selaras … dalam menghancurkan bagian-bagian negara yang tidak mereka sukai dan bagian dari kehidupan politik Sudan yang tidak mereka sukai,” katanya kepada Al Jazeera.
Kamis, RSF dilaporkan menyerbu kantor media surat kabar independen el-Hirak el-Siyasi untuk mengintimidasi staf dan mencuri barang-barang mereka, menurut sindikat tersebut.
Pada minggu yang sama, dilaporkan bahwa seorang gerilyawan RSF menembak jurnalis foto Faiz Abubakr dari belakang saat dia merekam bentrokan di jalan. RSF kemudian menahan, menginterogasi dan memukuli Abubakar, menuduhnya sebagai mata-mata intelijen militer.
“Jurnalis berada dalam bahaya nyata,” kata Mohamad el-Fatih Yousif, anggota Jaringan Jurnalis Sudan, sebuah kelompok kebebasan pers. "Tidak ada yang diizinkan untuk mengambil posisi netral."
Al Jazeera menghubungi juru bicara RSF dan penasihat politik Youssef Ezzat untuk menanyakan kepadanya tentang ancaman-ancaman dan serangan-serangan kelompok tersebut terhadap jurnalis.
“Saya tidak mendengar insiden apa pun terhadap para jurnalis dan sebenarnya RSF kooperatif dengan para jurnalis dan wartawan TV,” katanya.
Tak ada jurnalis yang berbicara kepada Al Jazeera menggambarkan RSF kooperatif, dan beberapa dari mereka menambahkan bahwa mereka sedang berpikir untuk melarikan diri ke luar dari negeri itu karena takut dijadikan target kelommpok milisi atau tentara.
Tetapi Abu Idriss mengatakan meskipun ia memahami alasan kolega-koleganya pergi dari Sudan, ia yakin para jurnalis harus tetap tinggal untuk memberikan narasi faktual perang tersebut.
“Kedua pihak yang berkonflik memiliki mesin informasi di media sosial yang membuat berita-berita palsu, menerbitkan ujaran-ujaran kebencian dan menyebar propaganda. Untuk alasan ini, para wartawan harus tetap tinggal, se hingga kita bisa memiliki suara netral,” katanya kepada Al Jazeera.
Abu Idriss menambahkan ia tidak akan meninggalkan kolega-koleganya sebagai ketua sindikat pers. “Menjadi tugas saya untuk tetap di Sudan,” katanya. “Dan saya harus berusaha dan melindungi [ jurnalis.]”
AL JAZEERA
Pilihan Editor: Ratusan Muslim Rohingya Dikhawatirkan Tewas akibat Topan Mocha