Jokowi Serukan Setop Kekerasan di Myanmar: Rakyat jadi Korban
Reporter
Daniel A. Fajri
Editor
Sita Planasari
Senin, 8 Mei 2023 17:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyerukan supaya kekerasan di Myanmar segera dihentikan. Dia meminta semua pihak di negara yang dilanda konflik itu untuk dialog, saat lembaga bantuan ASEAN menjadi target sasaran sebuah serangan.
Jokowi menyebut ada tembak menembak saat tim bantuan kemanusiaan ASEAN atau AHA Centre mengirimkan pertolongannya ke Myanmar kemarin. Sejauh ini belum ada pihak yang bertanggung jawab dalam serangan itu.
"Ïni tidak akan menyurutkan tekad ASEAN dan Indonesia untuk menyerukan kembali, hentikan kekerasan, stop using force, stop violence karena rakyat yang akan menjadi korban,” kata Jokowi saat jumpa pers di Labuan Bajo, Senin, 8 Mei 2023, jelang KTT ASEAN pekan ini.
Myanmar dilanda kekerasan dan gejolak ekonomi sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 2021. Tatmadaw melancarkan tindakan keras terhadap lawan, beberapa di antaranya melarikan diri ke luar negeri untuk membentuk pemerintahan di pengasingan, NUG.
Pihak lainnya bergabung dengan kelompok perlawanan bersenjata nasional, yang bersekutu dengan NUG dan beberapa tentara etnis minoritas dalam memerangi junta.
Dalam keterangan persnya, Jokowi sendiri menilai Indonesia mampu memfasilitasi AHA Centre sehingga joint needs assessment mampu diselesaikan, walau sempat tertunda cukup lama karena masalah akses.
Presiden melihat itu sebagai bagian dari upaya implementasi konsensus lima butir yang dibuahkan oleh ASEAN untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Solusi damai yang dikenal Five Point Consensus itu mencakup dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar.
Di sisi lain, ketua organisasi riset dan advokasi masyarakat Myanmar Progressive Voice, Khin Ohmar, menganggap AHA Centre tidak memiliki kapasitas untuk mengirimkan bantuan ke Myanmar.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, awal Mei, Khin mengatakan independensi AHA Centre dipertanyakan karena beberapa dewan pengurusnya merupakan bagian dari junta.
Menurut dia, bantuan yang selama ini dikirim melalui AHA Centre ke Myanmar justru disalurkan kepada militer. “AHA Centre bertujuan untuk mengirim bantuan kemanusiaan yang disebabkan bencana alam. Sementara krisis Myanmar disebabkan bencana politik oleh manusia. AHA Centre tidak punya kapasitas untuk merespons konflik ini,” kata Khin.
<!--more-->
Menanti Solusi Indonesia
Para pemimpin ASEAN telah kehilangan kesabaran dengan junta atas kegagalannya untuk mengimplementasikan konsensus perdamaian dan serangan terus-menerus terhadap lawan. Blok tersebut sejak akhir 2021 melarang junta menghadiri pertemuan tingkat tinggi hingga kemajuan terlihat.
Wakil Naypyidaw tetap tidak akan menghadiri KTT ASEAN di Labuan Bajo. Sementara publik menantikan terobosan Indonesia dalam menangani krisis di Myanmar.
Indonesia tidak secara terbuka menjelaskan pendekatannya dalam menangani krisis di Myanmar, sebab Jakarta memilih cara diplomasi senyap.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, selama empat bulan keketuaan di ASEAN, Indonesia sudah melakukan 60 pertemuan dengan berbagai pihak di Myanmar, termasuk rapat langsung, seperti dengan junta, kelompok etnis bersenjata, dan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG).
“Diplomasi senyap bukan berarti Indonesia tidak melakukan apapun, yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia sudah melakukan banyak hal yang bisa jadi modal selanjutnya,” kata Retno saat pengarahan di Jakarta, Jumat, 5 Mei 2023.
Selain dengan pemangku kepentingan di Myanmar, Retno mengatakan Indonesia juga sudah membahas ini dengan negara kunci/tetangga seperti Cina, India, Thailand, Amerika Serikat hingga lembaga seperti PBB.
Peneliti senior di bidang politik internasional dan kebijakan luar negeri di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dewi Fortuna Anwar memaklumi ekspektasi tinggi terhadap Indonesia dalam menyelesaikan krisis Myanmar ini. Namun dia memperkirakan di KTT ASEAN ini, pemerintah tidak akan banyak membeberkan banyak perkembangan, walau pembahasan soal Myanmar akan cukup intens.
"Jadi kita harapkan diplomasi senyap ini tidak menandakan tidak ada kegiatan, tetapi hanya karena memang belum tepat waktunya untuk dibicarakan. Tapi ada pergerakan intensif, itu yang diharapkan,” kata Dewi saat dihubungi Tempo pada Selasa, 2 Mei 2023.
Pilihan Editor: Pertemuan Pejabat Senior Awali KTT ASEAN di Labuan Bajo
DANIEL A. FAJRI