Ketika MbS Mencoba Melepaskan Arab Saudi dari Ketergantungan pada AS

Reporter

Tempo.co

Editor

Yudono Yanuar

Selasa, 4 April 2023 18:30 WIB

Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed Bin Salman, dan Presiden Cina, Xi Jinping, berjabat tangan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, pada Jumat, 30 November 2018 waktu setempat. Kemenlu Arab Saudi

TEMPO.CO, Jakarta - Putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman atau MbS banyak melakukan gebrakan. Mulai dari memodernisasi perekonomian, merangkul musuh tradisionalnya, sampai pelan-pelan melepaskan diri dari pelindung utamanya, Amerika Serikat.

Hal itu terlihat dari keregangan hubungan dengan Washington, menjalin kerja sama dengan raksasa dunia lainnya, China, atau memperbaiki hubungan dengan seteru tradisionalnya, Iran, yang juga musuh bebuyutan AS.

MbS juga memotong produksi minyak OPEC, yang membuat dunia kekurangan pasokan dan bikin marah konsumen.

Strategi tersebut dirancang untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan Arab Saudi fokus pada rencana transformasi ekonomi MbS yang luas, Visi 2030, di mana dia telah menggelontorkan ratusan miliar dolar, berharap hal itu akan membuka kerajaan konservatif untuk bisnis dan pariwisata di tengah persaingan regional yang meningkat.

Pergeseran strategis dimulai pada 2019 setelah serangan dahsyat terhadap fasilitas minyak Saudi Aramco - saat itu Riyadh mempertanyakan komitmen keamanan AS ke wilayah tersebut - dan mendapatkan momentum setelah serangan Israel terhadap target Iran, kata para analis.

Kerajaan berharap untuk menghindari terjebak dalam baku tembak, kata mereka.

"Arab Saudi bergerak dari pelepasan ke keterlibatan untuk memungkinkannya fokus mendorong Visi 2030," kata analis Saudi, Abdulaziz Sager.

Advertising
Advertising

Kerajaan itu telah melakukan upaya diplomatik, memulihkan hubungan dengan Iran dan menyetujui pemulihan hubungan dengan Suriah dalam upayanya untuk membangun kembali aliansi regional, alih-alih bersandar sepenuhnya pada Amerika Serikat, sekutu lama kekuatan besarnya.

Arab Saudi berencana untuk mengundang Presiden Suriah Bashar al-Assad ke pertemuan puncak Liga Arab yang diselenggarakan Riyadh pada bulan Mei, sebuah langkah yang secara resmi akan mengakhiri isolasi regional Suriah.

Menjauhi AS, Mendekat ke China

Kerajaan juga mengumumkan keputusan untuk bergabung dengan Organisasi Kerja Sama Shanghai yang dipimpin China, sebuah tanda bahwa kerajaan itu membina hubungan jangka panjang dengan Beijing dengan mengorbankan Amerika Serikat.

Seorang pejabat Saudi mengatakan Amerika Serikat dan China adalah mitra yang sangat penting bagi Riyadh.

"Kami tentu berharap untuk tidak menjadi bagian dari persaingan atau perselisihan antara dua negara adidaya. Kami bukan negara adidaya, tetapi kami adalah pemain penting di kawasan dan ekonomi global," kata pejabat yang menolak disebutkan namanya itu. .

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan pada hari Senin, 3 April 2023, bahwa Riyadh tetap menjadi mitra strategis bagi Washington meskipun keduanya tidak menyetujui semua masalah. Washington dan Riyadh bekerja untuk mengatasi tantangan keamanan bersama, katanya.

Memperbaiki hubungan dengan Iran

Dalam kesepakatan signifikan yang ditengahi oleh China, Riyadh mencapai kesepakatan dengan Teheran untuk menghidupkan kembali hubungan diplomatik, setelah bertahun-tahun persaingan sengit yang memicu konflik di Timur Tengah.

Elisabeth Kendall, seorang pakar Timur Tengah di Universitas Girton Cambridge, mengatakan bahwa perubahan mendadak itu mungkin dipicu oleh konfrontasi yang meningkat antara Israel dan Iran.

"Saudi kemungkinan berharap bahwa mencairkan hubungan dengan Iran akan menghindari terjebak dalam konflik regional lainnya, sehingga menghilangkan risiko serangan langsung Iran lainnya terhadap infrastrukturnya, seperti serangan 2019 yang melumpuhkan Aramco," kata Kendall. Iran membantah bertanggung jawab.

Pada hari Minggu, pasukan Israel melakukan serangan udara di pos terdepan Iran di Suriah, kata kementerian pertahanan Suriah. Sumber-sumber intelijen Barat mengatakan serangkaian pangkalan udara di Suriah tengah tempat personel Iran bermarkas diserang.

Serangan itu, yang terbaru dari serangkaian fasilitas militer Iran di sekutu dekat Teheran, Suriah, meningkatkan momok konfrontasi regional yang lebih luas yang akan menempatkan sekutu Teluk AS dalam bahaya jika operasi militer meningkat.

Serangan udara sebelumnya di lokasi minyak Saudi, dan di depot bahan bakar Uni Emirat Arab oleh pasukan Houthi Yaman yang didukung Iran, telah mengungkapkan ketidakpastian seputar kepentingan keamanan AS di sekutu Arabnya, mendorong Riyadh untuk mendorong de-eskalasi dengan Teheran dan mendiversifikasi mitra keamanannya.

Tidak pernah ada dialog serius, baik di dalam pemerintah AS atau dengan Saudi, mengenai kondisi di mana Washington akan membela Arab Saudi jika diserang, kata Bilal Saab, Direktur Program Pertahanan dan Keamanan di Institut Timur Tengah di Washington.

“Orang-orang Saudi tidak ingin berada dalam perang tembak-menembak antara Iran dan Amerika Serikat. Mereka tidak percaya bahwa Washington akan melindungi mereka,” kata Saab.

Hubungan Riyadh yang tumbuh dengan Beijing telah meningkatkan kegelisahan Washington, yang mengatakan upaya China untuk memberikan pengaruh di seluruh dunia tidak akan mengubah kebijakan AS terhadap Timur Tengah.

Shadi Hamid dari Brookings Institution di Washington mengatakan pandangan Arab Saudi bahwa AS semakin terlepas dari wilayah tersebut tidak sepenuhnya salah.

"Putra mahkota telah memutuskan untuk melakukan lindung nilai atas taruhannya, baik sebagai konsesi terhadap kenyataan tetapi juga sebagai cara untuk memprovokasi AS agar lebih memperhatikan masalah keamanannya," kata Hamid.

"AS kesal tetapi tidak membalas dengan cara apa pun, yang pada gilirannya membuat Arab Saudi semakin berani untuk terus memperdalam hubungannya dengan musuh utama Amerika."

REUTERS

Pilihan Editor Prancis Godok RUU untuk Atur Influencer, Apa Saja Isinya?

Berita terkait

Mengenang Banjir Yangtze 1931, Banjir Bandang di China yang Menewaskan 3,6 Juta Jiwa

9 jam lalu

Mengenang Banjir Yangtze 1931, Banjir Bandang di China yang Menewaskan 3,6 Juta Jiwa

Banjir bandang di Sungai Yangtze pada 1931 merupakan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah China, bahkan di dunia.

Baca Selengkapnya

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Minta Kongres Evaluasi Bantuan Senjata Rp16 T ke Israel

10 jam lalu

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Minta Kongres Evaluasi Bantuan Senjata Rp16 T ke Israel

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyerahkan paket bantuan senjata untuk Israel senilai USD1 miliar (Rp16 triliun)

Baca Selengkapnya

Terkini: Jokowi Sebut Bantuan Beras Patut Disyukuri, Besaran Iuran BPJS Kesehatan Terbaru Setelah Diganti KRIS

11 jam lalu

Terkini: Jokowi Sebut Bantuan Beras Patut Disyukuri, Besaran Iuran BPJS Kesehatan Terbaru Setelah Diganti KRIS

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebut bantuan beras merupakan langkah konkret untuk meringankan beban masyarakat.

Baca Selengkapnya

Marinir Amerika Serikat dan TNI AL Latihan Militer Bersama CARAT

12 jam lalu

Marinir Amerika Serikat dan TNI AL Latihan Militer Bersama CARAT

Marinir Amerika Serikat dan TNI AL memulai latihan militer bersama bernama Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) Indonesia 2024

Baca Selengkapnya

RI-China Bahas Kerja Sama Riset di Bidang Pengolahan Nikel

14 jam lalu

RI-China Bahas Kerja Sama Riset di Bidang Pengolahan Nikel

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto dan Duta Besar China untuk Indonesia Lu Kang bertemu untuk membahas penguatan kerja sama

Baca Selengkapnya

Perwira Angkatan Darat AS Mundur, Protes Dukungan terhadap Israel untuk Serang Gaza

1 hari lalu

Perwira Angkatan Darat AS Mundur, Protes Dukungan terhadap Israel untuk Serang Gaza

Harrison Mann, perwira Angkatan Darat Amerika Serikat mengumumkan mundur sebagai protes atas dukungan Washington terhadap perang Israel di Gaza.

Baca Selengkapnya

Alasan 9 Negara Ini Menolak Palestina Jadi Anggota Penuh PBB, Termasuk Argentina dan Papua Nugini

1 hari lalu

Alasan 9 Negara Ini Menolak Palestina Jadi Anggota Penuh PBB, Termasuk Argentina dan Papua Nugini

Sebanyak 143 negara mendukung Palestina menjadi anggota penuh PBB, 9 negara menolak dan 25 negara lain abstain. Apa alasan mereka menolak?

Baca Selengkapnya

Korban Tewas Lebih 35.000 Orang, AS Bantah Israel Lakukan Genosida di Gaza

1 hari lalu

Korban Tewas Lebih 35.000 Orang, AS Bantah Israel Lakukan Genosida di Gaza

Gedung Putih membantah bahwa Israel melakukan genosida di Gaza. Warga Palestina yang tewas di Gaza sudah lebih dari 35.000 orang.

Baca Selengkapnya

Senator AS Sarankan Israel Serang Gaza dengan Bom Nuklir

1 hari lalu

Senator AS Sarankan Israel Serang Gaza dengan Bom Nuklir

Senator AS Lindsey Graham melontarkan pernyataan kontroversial terkait agresi Israel di Gaza. Ia menyarankan Israel membom nuklir Gaza

Baca Selengkapnya

Ditangkap di Australia, Mantan Pilot Marinir AS Akui Bekerja dengan Peretas Cina

2 hari lalu

Ditangkap di Australia, Mantan Pilot Marinir AS Akui Bekerja dengan Peretas Cina

Mantan pilot Marinir AS yang menentang ekstradisi dari Australia, tanpa sadar bekerja dengan seorang peretas Tiongkok, kata pengacaranya.

Baca Selengkapnya