Inflasi Masih Tinggi, Pertumbuhan Ekonomi Inggris Diprediksi Melambat

Reporter

Tempo.co

Rabu, 7 Desember 2022 05:00 WIB

Pedagang menunjukkan kondisi daging kepada pembeli di Pasar Smithfield, London, Inggris, 19 November 2021. Tak seperti pasar pada umumnya yang beroperasi setengah atau sepanjang hari, pasar daging ini hanya buka pada pukul 12 tengah malam hingga pukul 7 pagi. REUTERS/Hannah McKay

TEMPO.CO, Jakarta - Confederation of Business Industry (CBI) pada Senin, 5 Desember 2022, memperingatkan pertumbuhan ekonomi Inggris bisa terperosok 0,4 persen pada tahun depan menyusul inflasi di Inggris yang masih tinggi. Perusahaan-perusahaan pun disarankan untuk menahan investasinya.

Laporan CBI menyebut Inggris sudah jatuh ke lubang resesi yang pendek dan dangkal yang akan membuat investasi di sektor bisnis 9 persen di bawah level 2019 dan produktivitas 2 persen di bawah trend pra-pandemik Covid-19 yang berakhir pada 2024.

“Lemahnya produktivitas dan investasi bisnis yang terus-menerus bukan pertanda baik bagi potensi pertumbuhan ekonomi Inggris,” demikian keterangan CBI.

Advertising
Advertising

Baca juga: Hari Disabilitas Internasional, Inggris Luncurkan Aplikasi Akses Pekerjaan Bagi Penyandang Disabilitas

Pembeli menunggu pesanan daging di Pasar Smithfield, London, Inggris, 19 November 2021. REUTERS/Hannah McKay

Inflasi di Inggris pada Oktober 2022 menembus rekor tertinggi dalam 41 tahun, yakni 11,1 persen. Pada tahun depan, inflasi Inggris diperkirakan 6,7 persen dan 2,9 persen pada 2024.

CBI memprediksi Inggris akan mengalami resesi terburuk kedua di kalangan negara-negara Eropa setelah Jerman.

“Inggris berada dalam stagflasi dengan meroketnya inflasi, pertumbuhan ekonomi yang negatif, anjloknya produktifitas dan investasi bisnis. Perusahaan – perusahaan melihat adanya potensi pertumbuhan ekonomi, namun ada tidak cukup ada alasan untuk meyakini dalam menghadapi tantangan ke depan sehingga menyebabkan perusahaan-perusahaan itu tidak mengucurkan investasi pada 2023,” kata Direktur CBI Tony Danker.

CBI menyarankan Pemerintah Inggris agar membuat visa kerja paska-Brexit sehingga bisa lebih fleksibel dan mengakhiri apa yang dilihat sebagai sebuah larangan yang efektif untuk membangun turbin angin barat serta memberikan insentif pajak yang lebih besar pada sektor investasi.

CBI menilai rencana Pemerintah Inggris perlu dibangun untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan suplai tenaga kerja karena Inggris adalah satu-satunya negara ekonomi maju dengan sedikit tenaga kerja dibanding sebelum pandemi Covid-19.

Sumber: RT.com

Baca juga:Ekonomi 2023 Diprediksi Gelap, Apa yang Harus Dilakukan Startup Digital?

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Profil Alan Walker yang Banjir Pesan Setelah Bagikan Nomor Telepon Menjelang Konser di Jakarta

1 hari lalu

Profil Alan Walker yang Banjir Pesan Setelah Bagikan Nomor Telepon Menjelang Konser di Jakarta

DJ ternama, Alan Walker menghebohkan publik lantaran membagikan nomor telepon Indonesia menjelang konser di Jakarta. Lantas, siapakah Alan Walker?

Baca Selengkapnya

BI Beberkan Langkah Sinergi Pengendalian Inflasi

1 hari lalu

BI Beberkan Langkah Sinergi Pengendalian Inflasi

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyatakan pihaknya terus memperkuat sinergi dan mendukung upaya pengendalian inflasi daerah.

Baca Selengkapnya

Di Qatar Economic Forum, Prabowo Sebut Biaya Pembangunan IKN Tembus Rp 16 Triliun per Tahun

1 hari lalu

Di Qatar Economic Forum, Prabowo Sebut Biaya Pembangunan IKN Tembus Rp 16 Triliun per Tahun

Presiden terpilih Prabowo Subianto membeberkan strategi Pemerintah untuk membiayai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Baca Selengkapnya

Jokowi dan Gubernur Jenderal Australia Bertemu, Bahas Penguatan Hubungan antar Masyarakat

1 hari lalu

Jokowi dan Gubernur Jenderal Australia Bertemu, Bahas Penguatan Hubungan antar Masyarakat

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam keterangan pers usai pertemuan, menjelaskan, Jokowi dan Hurley misalnya mebahas upaya menggiatkan pengajaran bahasa di masing-masing negara.

Baca Selengkapnya

Pencabutan Izin Usaha Paytren Dinilai Menyelamatkan Lebih Banyak Calon Investor

1 hari lalu

Pencabutan Izin Usaha Paytren Dinilai Menyelamatkan Lebih Banyak Calon Investor

Ekonom Nailul Huda menilai langkah OJK mencabut izin PT Paytren Manajemen Investasi sudah tepat.

Baca Selengkapnya

Pertamina Hulu Energi dan ExxonMobil Kerja Sama Penangkapan dan Penyimpanan Karbon di IPA CONVEX ke-38

2 hari lalu

Pertamina Hulu Energi dan ExxonMobil Kerja Sama Penangkapan dan Penyimpanan Karbon di IPA CONVEX ke-38

PT Pertamina Hulu Energi (PHE) menjajaki kerja sama dengan ExxonMobil Indonesia melalui pengembangan Asri Basin Project CCS Hub.

Baca Selengkapnya

6 Penyebab Rupiah Melemah, Ini Pemicu dari Faktor Domestik dan Global

2 hari lalu

6 Penyebab Rupiah Melemah, Ini Pemicu dari Faktor Domestik dan Global

Rupiah melemah dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik, apa saja?

Baca Selengkapnya

Terkini: Ini Peserta BPJS Kesehatan yang Tak Bisa Naik Kelas Rawat Inap, Airlangga soal Target Prabowo Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

2 hari lalu

Terkini: Ini Peserta BPJS Kesehatan yang Tak Bisa Naik Kelas Rawat Inap, Airlangga soal Target Prabowo Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan mulai tahun depan menjadi sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Baca Selengkapnya

Pemegang Saham Saratoga Sepakati Pembagian Dividen Rp 298,43 Miliar

2 hari lalu

Pemegang Saham Saratoga Sepakati Pembagian Dividen Rp 298,43 Miliar

PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. atau Saratoga (SRTG) akan membagikan dividen tunai sebesar Rp 298,43 miliar atau sekitar Rp 22 per lembar saham.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat ke Level Rp 15.923 per Dolar AS

2 hari lalu

Rupiah Menguat ke Level Rp 15.923 per Dolar AS

Kurs rupiah hari ini ditutup menguat 104 poin ke level Rp 15.923 per dolar AS.

Baca Selengkapnya