TEMPO.CO, Jakarta -Puluhan negara menyuarakan keprihatinan tentang dugaan pelanggaran terhadap warga Muslim Uighur di Xinjiang, China. Mereka juga menuntut agar kepala Hak Asasi PBB menerbitkan laporan yang telah lama tertunda tentang situasi di sana.
Duta Besar Belanda untuk PBB di Jenewa, Paul Bekkers, membawa isu ini kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Selasa, 14 Juni 2022.
Menyampaikan pernyataan bersama atas nama 47 negara, Bekkers menunjuk sejumlah “laporan kredibel” yang mengindikasikan bahwa lebih dari satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya telah ditahan secara sewenang-wenang.
“Ada laporan tentang pengawasan luas yang sedang berlangsung, diskriminasi terhadap warga Muslim Uighur dan orang lain yang termasuk minoritas,” katanya, seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu, 15 Juni 2022.
Pernyataan bersama itu juga menyuarakan keprihatinan tentang laporan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat oleh pihak berwenang. Seperti sterilisasi paksa, kekerasan seksual dan berbasis gender, kerja paksa, dan pemisahan paksa anak-anak dari orang tua.
Bekkers menegaskan bahwa pihaknya meminta kembali China untuk segera mengatasi masalah ini. Negara-negara tersebut menuntut Beijing mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap
Muslim Uighur dan minoritas lain.
Kelompok itu juga meminta Beijing untuk memberikan para penyelidik dan pakar PBB akses penting dan tidak terbatas demi mengamati situasi di lapangan di Xinjiang secara independen.
Setelah berbulan-bulan menuntut akses tanpa batas ke Xinjiang, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet akhirnya bisa mengunjungi China pada bulan lalu. Kunjungan itu jadi yang pertama oleh seorang kepala hak asasi PBB ke China dalam 17 tahun.
Namun, dia menghadapi kritik keras karena tidak lantang bicara dugaan pelanggaran China sebelum dan selama perjalanan. Spekulasi bertebaran yang menyebut bahwa dia diyakini sangat dikendalikan oleh otoritas China.
Bachelet mendapat tekanan besar untuk merilis laporannya yang telah lama tertunda tentang Xinjiang. Para diplomat menilai laporan itu telah siap selama berbulan-bulan.
Bachelet, yang mengumumkan pada Senin bahwa dia tidak akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, telah berjanji untuk menerbitkan laporan itu sebelum dia mundur pada 31 Agustus.
<!--more-->
Dalam pernyataan bersama pada Selasa, sejumlah negara meminta pengamatan lebih rinci, termasuk pembatasan yang diberlakukan otoritas China pada kunjungan Bachelet.
Duta Besar China Chen Xu marah atas pernyataan bersama tersebut. Dia mengutuk Belanda dan para penandatangan lainnya karena menyebarkan kebohongan dan rumor untuk menyerang China. Dia menilai sejumlah negara di balik pernyataan itu munafik dan manipulatif.
“Kami dengan tegas menolak tuduhan ini,” kata Chen. Dia sendiri memuji kunjungan Bachelet dan bersikeras bahwa itu telah meningkatkan pemahamannya tentang jalur pembangunan hak asasi manusia China.
Beijing sebelumnya telah mengakui bahwa ada kamp di Xinjiang, tetapi itu disebutnya adalah pusat pelatihan keterampilan kejuruan dan diperlukan untuk mengatasi ekstremisme. Namun, China mengatakan program itu telah dihentikan.
PBB pertama kali mengungkapkan penahanan jutaan etnis
Muslim Uighur di Xinjiang pada akhir 2018. Amnesty International kemudian menuduh Beijing melakukan sejumlah kejahatan kemanusiaan di wilayah tersebut.
SUMBER: AL JAZEERA