Top 3 Dunia: Jenderal Rusia Tewas, Cina Bergantung Teknologi Militer Ukraina
Reporter
Tempo.co
Editor
Dewi Rina Cahyani
Sabtu, 5 Maret 2022 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Berita top 3 dunia kemarin, Jumat, 4 Maret 2022 dimulai dari jenderal top Rusia yang tewas di Ukraina. Diduga ia dibunuh oleh penembak jitu. Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah membenarkan seorang jenderalnya telah tewas.
Berita top 3 dunia berikutnya adalah Cina bergantung pada teknologi Ukraina di bidang militer. Selama ini Ukraina merupakan pemasok penting di bidang teknologi militer Cina.
Berita top 3 dunia ketiga yaitu PBB yang menyatakan penegakan hak asasi manusia di Papua memburuk. Pelanggaran HAM yaitu pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan, dan pemindahan massal orang, disebut memperburuk situasi ini. Berikut berita selengkapnya:
1. Jenderal Top Rusia Tewas Dibunuh Sniper di Ukraina
Seorang jenderal berpangkat tinggi Rusia, Andrei Sukhovetsky, tewas dalam pertempuran di Ukraina. Sebuah sumber militer mengatakan Mayjen Sukhovetsky telah dibunuh oleh penembak jitu Ukraina.
<!--more-->
2. Cina Bergantung pada Teknologi Ukraina, dari Kapal Induk sampai Jet Tempur
Invasi Rusia ke Ukraina kemungkinan akan mengancam salah satu hubungan strategis Cina yang paling rahasia namun penting dalam beberapa tahun terakhir, yakni pemanfaatan sumber daya Ukraina dalam pengembangan teknologi militer Tiongkok.
Selama ini, Ukraina menjadi pemasok penting baik teknologi, peralatan dan sumber daya manusia untuk pengembangan peralatan militer Cina termasuk jet tempur, meski dibayang-bayangi tekanan Amerika Serikat. Dukungan Cina kepada Rusia dalam konflik saat ini, tampaknya akan makin mempersulit hubungan dagang kedua negara, kata analis militer dan diplomat seperti dikutip Reuters, Kamis, 3 Maret 2022.
Frustrasi Ukraina atas hubungan Beijing yang berkembang dengan Moskow dan ketidakpastian atas bentuk ekonomi dan pemerintah pascaperang dapat mengancam hubungan itu, kata mereka.
“Ukraina selalu menjadi tempat berburu yang baik bagi teknisi militer Cina. Ada banyak hal di sana, dan dalam beberapa kasus lebih mudah untuk mendapatkannya daripada dari Rusia,” kata analis militer Cina yang berbasis di Moskow, Vasily Kashin dari Universitas HSE.
"Hubungan seperti itu akan benar-benar hancur," katanya, mencatat kemarahan pemerintah Ukraina atas dukungan diplomatik Cina untuk Rusia di tengah ketidakpastian pasca-perang lainnya.
Kapal induk kedua Cina Shandong misalnya, badan kapalnya menggunakan teknologi Ukraina, demikian dilaporkan The Economic Times, 30 Mei 2020.
Di luar akuisisi profil tinggi dari badan kapal yang dibangun sebagian dari salah satu kapal induk terakhir Uni Soviet dan badan pesawat jet tempur Su-33, Cina telah membeli mesin untuk pesawat latih, kapal perusak dan tank serta pesawat angkutnya dari Ukraina, demikian hasil pelacakan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI_.
Atase militer yang berbasis di Asia mengatakan, Ukraina telah lama dicurigai sebagai sumber dari beberapa sistem komando, kendali dan teknologi lain yang digunakan dalam pengembangan misil Cina, termasuk sejumlah teknisi telah bekerja secara pribadi di sana.
Pekerjaan ini diperkirakan terus berlanjut bahkan jika hubungan resmi memburuk atau menjadi sulit, kata mereka.
"Satu keuntungan tradisional bagi Cina di Ukraina pada umumnya adalah situasi keamanan yang lebih lancar daripada Rusia, sehingga memungkinkan untuk melakukan sesuatu secara tidak resmi," kata seorang atase militer.
Kementerian Pertahanan Cina tidak menanggapi permintaan komentar.
Baca di sini berita selengkapnya.
<!--more-->
3. PBB: Penegakan Hak Asasi Manusia di Papua Memburuk
Pakar HAM PBB menilai penegakan hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat makin memprihatinkan. Pelanggaran HAM terhadap penduduk, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan, dan pemindahan massal orang, disebut memperburuk situasi ini.
Para ahli PBB yang melakukan investigasi masalah ini, menyerukan adanya akses darurat kemanusiaan ke Papua. Pemerintah Indonesia juga diminta untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat Papua.
“Antara April dan November 2021, kami telah menerima laporan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan,” tulis pernyataan ahli dalam sebuah keterangan yang dikeluarkan bidang HAM PBB, Kamis, 3 Maret 2022.
Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan atau menumpang dengan kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi juga sebagian telah melarikan diri ke hutan. Di sana mereka terkena iklim yang parah, di dataran tinggi, tanpa akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.
"Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang," ujar para ahli.
PBB juga melaporkan masalah gizi yang parah di beberapa daerah, dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden, pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.
Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli merujuk pada penembakan dua anak, berusia 2 dan 6 tahun pada 26 Oktober 2021 ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.
PBB mendesak ada tindkan lebih lanjut untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua.
PBB juga minta adanya penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran di muka yang terjadi. Pemerintah diharapkan tidak pandang bulu menindak pihak terlibat, termasuk jika ada pejabat tinggi yang terlibat.
Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis belasan surat kepada Pemerintah Indonesia tentang berbagai dugaan insiden yang terjadi dan mereka mengaku telah dibalas.
Sejauh ini Pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan atas temuan pakar HAM PBB tersebut.