Erdogan Usir 10 Dubes Barat karena Tuntut Pembebasan Osman Kavala

Reporter

Tempo.co

Editor

Yudono Yanuar

Minggu, 24 Oktober 2021 06:10 WIB

Presiden Turki Tayyip Erdogan berpidato di Istanbul, Turki, 21 Agustus 2020. [Murat Cetinmuhurdar / PPO / Handout via REUTERS]

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Turki Tayyip Erdogan minta Kemenlu mengusir duta besar Amerika Serikat dan sembilan negara Barat lainnya karena menuntut pembebasan filantropis Osman Kavala.

Tujuh dari duta besar itu mewakili NATO, sehingga pengusiran itu akan membuka keretakan terdalam Turki dengan Barat dalam 19 tahun kekuasaan Erdogan.

Menurut Reuters, Minggu, 24 Oktober 2021, sepuluh dubes yang di-persona-non-grata-kan itu dari Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Swedia, Finlandia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat setelah mereka membuat pernyataan bersama pada 18 Oktober 2021 berisi seruan penyelesaian yang adil dan cepat untuk kasus Kavala.

Kavala, seorang donatur untuk banyak kelompok masyarakat sipil, telah dipenjara selama empat tahun, didakwa membiayai unjuk rasa nasional pada 2013 dan keterlibatan dalam kudeta yang gagal pada 2016. Dia tetap dalam tahanan sementara persidangan terakhirnya berlanjut, dan menyangkal tuduhan tersebut.

Dalam pernyataan bersama itu, para dubes juga menyerukan "pembebasan mendesak". Mereka telah dipanggil oleh kementerian luar negeri, yang menyebut pernyataan itu tidak bertanggung jawab.

Advertising
Advertising

"Saya memberikan perintah yang diperlukan kepada menteri luar negeri kami dan mengatakan apa yang harus dilakukan: 10 duta besar ini harus dinyatakan persona non grata (tidak diinginkan) sekaligus. Anda akan segera menyelesaikannya," kata Erdogan dalam pidatonya di kota barat laut Turki, Eskisehir, Sabtu, 23 Oktober 2021.

"Mereka akan tahu dan mengerti Turki. Pada hari mereka tidak tahu dan mengerti Turki, mereka akan pergi," katanya yang disambut sorak-sorai hadirin.

Kedutaan AS dan Prancis serta Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS belum menanggapi permintaan komentar.

Erdogan telah mengatakan sebelumnya bahwa dia berencana untuk bertemu dengan Presiden AS Joe Biden pada pertemuan puncak ekonomi utama Kelompok 20 (G20) di Roma akhir pekan depan.

Satu sumber diplomatik mengatakan de-eskalasi dimungkinkan mengingat Turki sekarang telah membuat pendiriannya sangat jelas, dan mengingat potensi dampak diplomatik dari langkah seperti itu menjelang KTT G20 dan KTT iklim PBB di Glasgow yang dimulai pada akhir bulan.

"Tidak ada instruksi yang diberikan kepada kedutaan," kata sumber itu, seraya menambahkan bahwa ada kemungkinan keputusan akan diambil pada rapat kabinet Turki pada Senin, 25 Oktober 2021.

Norwegia mengatakan kedutaannya belum menerima pemberitahuan dari otoritas Turki.

"Duta besar kami belum melakukan apa pun menyangkut pengusiran," kata juru bicara kementerian, Trude Maaseide, menambahkan bahwa Turki sangat menyadari pandangan Norwegia.

"Kami akan terus meminta Turki untuk mematuhi standar demokrasi dan aturan hukum yang negara itu berkomitmen di bawah Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa," kata Maaseide.

Selanjutnya: Erdogan Dinilai Anti-perbedaan Pendapat

<!--more-->

Kavala dibebaskan tahun lalu dari tuduhan terkait dengan protes 2013, tetapi keputusan itu dibatalkan tahun ini dan digabungkan dengan tuduhan terkait dengan upaya kudeta.

Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan kasusnya adalah simbol dari tindakan keras terhadap perbedaan pendapat di bawah Erdogan.

Enam negara yang terlibat adalah anggota UE, termasuk Jerman dan Prancis. Presiden Parlemen Eropa David Sassoli tweeted: "Pengusiran sepuluh duta besar adalah tanda pergeseran otoriter pemerintah Turki. Kami tidak akan terintimidasi. Kebebasan untuk Osman Kavala."

Menteri Luar Negeri Denmark Jeppe Kofod mengatakan kementeriannya belum menerima pemberitahuan resmi, tetapi telah melakukan kontak dengan teman-teman dan sekutunya.

"Kami akan terus menjaga nilai dan prinsip bersama kami, seperti yang juga diungkapkan dalam deklarasi bersama," katanya dalam sebuah pernyataan.

Sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri Jerman juga mengatakan 10 negara sedang berkonsultasi satu sama lain.

Kavala mengatakan pada hari Jumat bahwa dia tidak akan lagi menghadiri persidangannya karena sidang yang adil tidak mungkin dilakukan setelah komentar baru-baru ini oleh Erdogan.

Erdogan dikutip pada hari Kamis mengatakan bahwa para duta besar tersebut tidak akan melepaskan "bandit, pembunuh dan teroris" di negara mereka sendiri.

Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menyerukan pembebasan segera Kavala dua tahun lalu, mengatakan tidak ada kecurigaan yang masuk akal bahwa dia telah melakukan pelanggaran, dan menemukan bahwa penahanannya dimaksudkan untuk membungkamnya.

Sebelumnya, Selahattin Demirtas, mantan ketua Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang pro-Kurdi, telah ditahan di penjara selama hampir lima tahun.

Dewan Eropa, yang mengawasi pelaksanaan keputusan Konvensi Eropa untuk HAM (ECHR), mengatakan akan memulai proses pelanggaran terhadap Turki jika Kavala tidak dibebaskan.

Sidang berikutnya dalam persidangan Osman Kavala adalah pada 26 November.

Berita terkait

Sejarah dan Arti Elemen-elemen dalam Bendera Korea Selatan

1 jam lalu

Sejarah dan Arti Elemen-elemen dalam Bendera Korea Selatan

Bendera Korea Selatan memuat arti tanah (latar putih), rakyat (lingkaran merah dan biru), dan pemerintah (empat rangkaian garis atau trigram hitam).

Baca Selengkapnya

Brown Jadi Universitas AS Pertama yang Pertimbangkan Divestasi dari Israel

2 jam lalu

Brown Jadi Universitas AS Pertama yang Pertimbangkan Divestasi dari Israel

Pengunjuk rasa pro-Palestina dan anti-Israel membersihkan perkemahan di kampus setelah mencapai kesepakatan dengan administrasi universitas Brown.

Baca Selengkapnya

Partai Demokrat AS Kirim Surat ke Joe Biden, Minta Cegah Serangan Israel di Rafah

4 jam lalu

Partai Demokrat AS Kirim Surat ke Joe Biden, Minta Cegah Serangan Israel di Rafah

Puluhan anggota Partai Demokrat AS menyurati pemerintahan Presiden Joe Biden untuk mendesak mereka mencegah rencana serangan Israel di Rafah.

Baca Selengkapnya

5 Fakta Osama bin Laden, Pendiri Al-Qaeda yang Ditembak Mati AS pada 2 Mei 2011

4 jam lalu

5 Fakta Osama bin Laden, Pendiri Al-Qaeda yang Ditembak Mati AS pada 2 Mei 2011

Hari ini, 2 Mei 2011, Osama bin Laden ditembak mati oleh pasukan Amerika. Berikut fakta-fakta Osama bin Laden.

Baca Selengkapnya

Pastor di AS Kecanduan Gim Candy Crush hingga Curi Dana Gereja Rp 650 Juta

9 jam lalu

Pastor di AS Kecanduan Gim Candy Crush hingga Curi Dana Gereja Rp 650 Juta

Seorang pastor di Amerika Serikat menghabiskan dana gereja karena kecanduan game online Candy Crush.

Baca Selengkapnya

Perusahaan Malaysia dan Jermat Minat Investasi di IKN, OIKN Sebut 3 LoI, Rencana Kantor Kedubes Pindah hingga..

10 jam lalu

Perusahaan Malaysia dan Jermat Minat Investasi di IKN, OIKN Sebut 3 LoI, Rencana Kantor Kedubes Pindah hingga..

Deputi Otorita IKN Agung Wicaksono menyatakan beberapa perusahaan dari Malaysia dan Jerman telah menyatakan minatnya untuk berinvestasi di IKN.

Baca Selengkapnya

Menlu AS Cek Bantuan ke Gaza Diiringi Suara Tembakan Tank

10 jam lalu

Menlu AS Cek Bantuan ke Gaza Diiringi Suara Tembakan Tank

Menlu AS Antony Blinken mengunjungi pintu masuk bantuan ke Gaza didampingi para pejabat Israel.

Baca Selengkapnya

10 Rute Road Trip Terbaik di Amerika Serikat dengan Pemandangan Alam Menakjubkan

11 jam lalu

10 Rute Road Trip Terbaik di Amerika Serikat dengan Pemandangan Alam Menakjubkan

Menikmati keindahan alam di Amerika Serikat dengan road trip merupakan pengalaman yang harus dicoba setidaknya sekali seumur hidup

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: AstraZeneca Ada Efek Samping dan Unjuk Rasa Pro-Palestina

13 jam lalu

Top 3 Dunia: AstraZeneca Ada Efek Samping dan Unjuk Rasa Pro-Palestina

Top 3 dunia, AstraZeneca, untuk pertama kalinya, mengakui dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-19 buatannya dapat menyebabkan efek samping

Baca Selengkapnya

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

23 jam lalu

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters/Ipsos mengungkap 58 persen responden percaya Beijing menggunakan TikTok untuk mempengaruhi opini warga Amerika.

Baca Selengkapnya