Indonesia Klarifikasi Kabar Tolak Resolusi Perlindungan HAM PBB
Reporter
Non Koresponden
Editor
Istman Musaharun Pramadiba
Kamis, 20 Mei 2021 12:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto, mengklarifikasi kabar Indonesia menolak resolusi perlindungan HAM PBB alias Responsibility to Protect (R2P) di tengah situasi Palestina - Israel yang pelik.
Disampaikan via press briefing, Febrian menyampaikan bahwa Indonesia memang menolak resolusi PBB, namun apa yang mereka tolak bukanlah substansi dari R2P itu sendiri. Ia berkata, apa yang ditolak Indonesia adalah pembahasan R2P dalam ruang atau event terpisah.
Febrian berkata, sudah terlalu sering pembahasan R2P dilakukan dalam kegiatan terpisah atau bahkan agenda tambahan. Hal itu, kata ia, sudah terjadi sejak konsep dasar R2P dibahas pada World Summit 2005. Oleh karenanya, menurut Febrian, sudah tidak perlu lagi ada resolusi untuk memisahkan agenda pembahasan R2P.
"Kesalahpahaman ini sepertinya timbul karena informasi yang tidak cukup banyak soal isu resolusi. Jadi, saya tegaskan, apa yang ditolak Indonesia bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya...Kami sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas," ujar Febrian, Kamis, 20 Mei 2021.
Menurut data yang diterima Tempo, Indonesia masuk dalam 15 negara yang menolak resolusi pemisahan pembahasan R2P. Sebagai perbandingan, ada 115 negara yang mendukung dan 28 abstain. Karena kalah jumlah, maka pembahasan R2P akan lanjut dalam agenda terpisah yang sifatnya permanen.
Febrian melanjutkan, apa yang perlu dipastikan dari R2P selanjutnya adalah bagaimana konsep itu akan dimatangkan dan diimplementasikan. Ia berkata, salah satu pilar dari R2P masih kerap menimbulkan perdebatan. Oleh karenanya, kata ia, R2P adalah isu delicate, tak bisa ditangani sembarangan.
Sebagai catatan, Konsep R2P terdiri atas tiga pilar. Pilar pertama, kewajiban memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban kejahatan kemanusiaan alah tanggung jawab dari negara asal masyarakat itu sendiri.
Pilar kedua, apbila negara terkait tidak mampu memberikan perlindungan, maka komunitas internasional bisa memberikan bantuan atau perlindungan dalam bentuk kerjasama internasional.
Pilar ketiga dan yang terakhir, apabila negara terkait tidak mampu dan tidak berniat untuk memberikan perlindungan, maka komunitas internasional bisa memberikan perlindungan sesuai bab 7 Statuta PBB. Adapun Bab 7 Statuta PBB secara spesifik mengatur aksi respon terhadap ancaman kedamaian pelanggaran terhadap kedamaian, dan aksi agresi.
"Paling ramai di pilar ketiga ini. Ini butuh pembahasan lebih jauh, butuh timing. Tentu koridor-koridornya sudah jelas, namun ini yang masih menjadi topik pembahasan. Belum ada konsensus soal bagaimana implementasi R2P."
"Jika betul nanti pilar ketiga yang akan dilaksanakan, hal itu harus melalui Dewan Keamanan PBB karena DK PBB lah yang diberi tugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan...Gak bisa sepuluh negara nanti tiba-tiba melakukan intervensi kolektif," ujar Febrian.
Perihal penerapan R2P untuk Israel dan Palestina, Febrian menyakini hal itu akan dibahas dalam agenda khusus perihal agresi Israel. Adapun Febrian menegaskan bahwa sikap Indonesia tetap, meminta gencatan senjata dan perdamaian yang sifatnya berkelanjutan. Per berita ini ditulis, 227 warga Palestina tewas dalam pertempuran yang telah berlangsung selama 11 hari.
Baca juga: Amnesty International Kecewa Indonesia Tolak Resolusi PBB Perlindungan HAM
ISTMAN MP