Diplomat UE Tuduh Rusia dan Cina Halangi Respons Internasional untuk Myanmar
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Senin, 12 April 2021 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Diplomat Uni Eropa pada Ahad mengatakan Rusia dan Cina sengaja menghambat tindakan internasional bersama untuk menolak kudeta militer Myanmar.
"Tidak mengherankan jika Rusia dan Cina memblokir upaya Dewan Keamanan PBB, misalnya untuk memberlakukan embargo senjata," kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dalam pernyataan blog, dikutip dari Reuters, 11 April 2021.
"Persaingan geopolitik di Myanmar akan membuat sangat sulit untuk menemukan titik temu," kata Borrell, yang berbicara atas nama 27 negara anggota UE. "Tapi kita punya kewajiban untuk mencoba."
"Dunia menyaksikan dengan ngeri, karena tentara menggunakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri," kata Borrell.
Cina dan Rusia sama-sama memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata Myanmar, sebagai pemasok senjata terbesar pertama dan kedua ke negara tersebut.
Dewan Keamanan PBB pekan lalu menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan lainnya yang ditahan oleh militer tetapi tidak mengutuk kudeta tersebut.
UE sedang menyiapkan sanksi baru bagi individu dan perusahaan milik militer Myanmar. Uni Eropa pada Maret menyetujui serangkaian sanksi pertama terhadap 11 orang yang terkait dengan kudeta, termasuk panglima militer.
Sementara pengaruh ekonomi UE di negara itu relatif kecil, Borrell mengatakan UE dapat menawarkan untuk meningkatkan hubungan ekonominya dengan Myanmar jika demokrasi dipulihkan.
Pemulihan bisa mencakup lebih banyak perdagangan dan investasi dalam pembangunan berkelanjutan, katanya.
Investasi langsung asing UE di Myanmar berjumlah US$ 700 juta (Rp 10 triliun) pada 2019, dibandingkan dengan US$ 19 miliar (Rp 277 triliun) dari Cina.
Junta militer mengatakan melakukan kudeta karena pemilihan November yang dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi dicurangi. Tetapi komisi pemilihan membantah ada kecurangan.
Pada Jumat apara keamanan junta Myanmar menembaki warga sipil dengan peluru granat, menewaskan 82 orang di kota Bago, dekat Yangon. Pembunuhan di Bago disebut kelompok aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) sebagai "ladang pembantaian".
Di Myanmar, kelompok protes menyerukan boikot Festival Air Thingyan minggu ini, salah satu perayaan terpenting Myanmar tahun ini, karena pembunuhan tersebut.
"Dengan semakin dekatnya Thingyan, kami berduka atas hilangnya nyawa yang dibunuh tanpa akal sehat di Bago & di seluruh negara di mana pasukan rezim dilaporkan telah menggunakan senjata perang melawan warga sipil," kata Kedutaan Besar AS di Yangon via Twitter.
"Rezim memiliki kemampuan untuk menyelesaikan krisis & harus memulai dengan mengakhiri kekerasan & serangan," kata Kedubes AS.
Pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan lebih dari 700 pengunjuk rasa, termasuk 46 anak-anak, sejak junta militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta militer 1 Februari, menurut penghitungan oleh Assistance Association for Political Prisoners (AAPP).
Baca juga: Militer Myanmar Menolak Bertanggung Jawab Atas Pembunuhan Anak-anak
REUTERS