Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat konferensi pers di Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, didampingi Menteri Pertahanan Benny Gantz, 27 Juli 2020, menyusul dugaan penyusupan milisi Hizbullah di perbatasan Israel-Lebanon.[Tal Shahar/REUTERS]
TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Serbia akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hal tersebut menjadikan Serbia sebagai negara Eropa pertama yang membuka kedutaan besar di Yerusalem, mengikuti jejak Amerika.
Dikutip dari kantor berita Al Jazeera, pemindahan kedutaan besar tersebut akan berlangsung Juli tahun depan. Adapun pemindahan tersebut, menurut Netanyahu, menandakan bahwa Serbia memandang Yerusalem lah ibu kota yang sah untuk Israel.
"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Serbia karena telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedubesnya ke sana. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Presiden Amerika Donald Trump," ujar Netanyahu, sebagaimana tertulis di laporan Al Jazeera, Sabtu, 5 September 2020.
Netanyahu melanjutkan bahwa Kosovo akan melakukan hal serupa, menjadikan Yerusalem sebagai lokasi kedutaan besarnya yang baru. Walau begitu, Netanyahu belum menyampaikan detil soal kapan negara mayoritas Muslim tersebut akan memindahkan kedubes ke Yerusalem.
Perlu diketahui, selama ini, kebanyakan misi diplomatik dengan Israel dilangsungkan di Tel Aviv. Hal itu dilakukan berbagai negara untuk menunjukkan sikap netral perihal konflik Palestina - Israel. Mereka tidak ingin dicap memberi legitimasi atau dukungan kepada Israel apabila membangun kantor misi diplomatik di Yerusalem.
Semua berubah di tahun 2017 ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika. Ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memutuskan untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana.
Keputusan Donald Trump tak ayal menimbulkan kemarahan dari berbagai negara, terutama Palestina. Sebab, dengan memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem, Amerika sama saja memberikan legitimasi kepada Israel untuk mengklaim Yerusalem sebagai miliknya. Padahal, sengketa wilayah dengan Palestina belum usai sejak Yerusalem diklaim Israel pada 1967.
Kemarahan serupa ditunjukkan Palestina terkait keputusan Serbia dan Kosovo. Menurutnya, pemindahan kedubes tersebut menjadikan Palestina korban dari rencana Donald Trump untuk memenangkan Pilpres Amerika.
"Ini seperti kejadian normalisasi Uni Emirat Arab dan Israel. Ini bukan tentang perdamaian di Timur Tengah...Ini tentang upaya memenangkan pemilu," ujar Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat.