Sosok Saad Al-Jabri, Eks Kepala Intel Arab Saudi yang Diincar MBS
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Rabu, 29 Juli 2020 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Saad Al-Jabri, mantan kepala intelijen Arab Saudi, kini diburu oleh pemerintahan Mohammed bin Salman karena tuduhan penyuapan dan pemborosan uang negara saat menjabat.
Pemerintah Arab Saudi telah berupaya membawa Al-Jabri kembali ke Arab Saudi untuk menjalani proses hukum. Saad Al-Jabri menolak.
Menurut pesan sms dan dokumen legal yang diperoleh New York Times, Putra Mahkota Mohammed bin Salman meminta Al-Jabri pulang dengan menawarkan pekerjaan baru dan meminta ekstradisinya melalui Interpol.
Tetapi Interpol mempertanyakan komitmen Arab Saudi untuk proses hukum dan hak asasi manusia dalam penanganan kasus korupsi kerajaan, dan menganggap permintaan Saudi untuk ekstradisi Al-Jabri bermotif politik. Akhirnya, Interpol menghapus nama Al-Jabri dari sistemnya.
Karier intelijen Saad Al-Jabri berakhir setelah perebutan kekuasaan antara Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan pendahulunya, Mohammed bin Nayef (MBN), di mana Al-Jabri adalah pembantu utama MBN.
Pangeran Mohammed bin Nayef dimasukkan dalam tahanan rumah setelah digantikan oleh Mohammed bin Salman pada Juni 2017, Al Jazeera melaporkan.
Mohammed bin Nayef memimpin Kementerian Dalam Negeri dan putra mahkota pada tahun 2015 sebelum digantikan MBS.
MBN ditangkap pada bulan Maret tahun ini dan diduga karena dia mengeluhkan kepemimpinan MBS secara pribadi.
Otoritas Saudi menahan Mohammed bin Nayef dan dua bangsawan senior lainnya pada 6 Maret untuk mengkonsolidasikan kekuatan MBS, dan menghilangkan ancaman terhadap kekuasaannya menjelang suksesi.
Beberapa pejabat tinggi Kementerian Dalam Negeri juga ditahan pada Maret, kata dua orang yang mengetahui situasi tersebut, menurut laporan Reuters.
Karir Al-Jabri terkait dengan hubungannya dengan Pangeran Nayef. Dia adalah seorang ahli bahasa dengan gelar doktor dalam kecerdasan buatan.
Al-Jabri menjadi pejabat tinggi di kementerian, yang menangani keamanan dan kontraterorisme, menempatkannya dalam kontak rutin dengan diplomat dan pejabat AS dari Central Intelligence Agency (CIA). Banyak yang memuji profesionalismenya.
"Al-Jabri benar-benar pintar, dan dia memiliki pengetahuan ensiklopedis," kata Douglas London, mantan perwira di Clandestine Service dan sarjana nonresiden di Institut Timur Tengah di Washington kepada The Times.
Karir Al-Jabri jatuh ketika Pangeran Mohammed bin Salman naik takhta. Seketika Al-Jabri diberhentikan melalui dekrit kerajaan pada 2015.
Selama hampir dua dekade, Saad Al-Jabri telah bekerja erat dengan Mohammed bin Nayef, membantu merombak operasi intelijen dan kontra-terorisme kerajaan dan membangun hubungan dekat dengan para pejabat Barat.
"Dia memiliki semua file tentang segalanya dan semua orang," kata mantan pejabat keamanan regional kepada Reuters. Dua orang warga Saudi yang memiliki koneksi dengannya dan seorang diplomat menggambarkan Al-Jabri sebagai orang yang sangat loyal kepada MBN.
Pada 2017, Al-Jabri mulai khawatir Pangeran Mohammed bin Salman berniat untuk menggantikan Mohammed bin Nayef dan mengincar sekutunya di dalam negeri. Kekhawatiran ini mendorong Saad Al-Jabri meninggalkan kerajaan dan menetap di Turki.
Menurut empat orang yang mengetahui masalah ini, putra mahkota MBS percaya bahwa ia dapat menggunakan dokumen yang dimiliki Al-Jabri melawan saingan saat ini untuk naik takhta. MBS juga khawatir dokumen-dokumen Al-Jabri mengandung informasi tambahan yang dapat membahayakan dirinya dan ayahnya, Raja Salman, kata empat orang itu kepada Reuters.
Salah satu sumber Saudi mengatakan putra mahkota ingin mengajukan tuntutan terhadap Mohammed bin Nayef terkait dengan tuduhan korupsi selama Mohammed bin Nayef menjabat di Kementerian Dalam Negeri. Namun, rincian tuduhan terhadap MBN tidak diketahui.
"Mereka sudah lama menginginkan Al-Jabri sebagai tangan kanan MBN," kata orang itu, merujuk pada bin Nayef.
Sebelum meminta bantuan interpol Mohammed bin Salman sempat membujuk Saad Al-Jabri pulang. Pada Juni 2017, Pangeran Mohammed bin Salman mengirim sms kepada Al-Jabri dan memintanya kembali untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak disebutkan dengan Mohammed bin Nayef, menurut versi terjemahan dari teks dari firma hukum Al-Jabri, Norton Rose Fulbright Kanada, yang diperoleh New York Times.
Dalam percakapan keduanya, MBS meminta Al-Jabri pulang ke Arab Saudi untuk menyelesaikan masalahnya dengan Mohammed bin Nayef. Al-Jabri mengatakan siap untuk melakukan perintah MBS, tetapi pada 21 Juni, Pangeran Mohammed bin Salman menggulingkan Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota dan menggantikannya. Mohammed bin Nayef ditempatkan di bawah tahanan rumah, dan dua anak Al-Jabri, Sarah, yang berusia 17 tahun pada waktu itu, dan Omar, yang berusia 18 tahun, dilarang meninggalkan Arab Saudi.
Melalui sms, Al-Jabri sempat bersumpah setia kepada MBS dan meminta agar anak-anaknya diizinkan keluar negeri untuk melanjutkan studi. MBS mendesak agar Al-Jabri pulang terlebih dahulu. Beberapa hari kemudian MBS mengancam Al-Jabri ditangkap di luar negeri.
Khalid Al Jabri, putra Saad Al-Jabri yang berprofesi sebagai ahli jantung di Kanada, mengatakan ayahnya pindah dari Turki ke Kanada setelah ancaman itu.
Otoritas Saudi mengajukan red notice kepada Interpol, organisasi kepolisian internasional, meminta negara-negara lain untuk membantu ekstradisi Al-Jabri, menurut dokumen Interpol. Namun, Interpol menolak permintaan Arab Saudi dengan mengkritik penanganan kasus korupsi kerajaan sebelumnya karena "kurangnya proses hukum dan jaminan hak asasi manusia."
Beberapa pekan lalu, media pemerintah Arab Saudi merujuk sebuah artikel di The Wall Street Journal yang mengutip pejabat Saudi anonim, menuduh Al-Jabri menyelewengkan USD 11 miliar (Rp 160 triliun) anggaran negara untuk memperkaya diri dan kerabat. Satu surat kabar Arab Saudi juga menerbitkan poster buronan dengan wajah Saad Al-Jabri.