Takut Tularkan Virus Corona, Warga Afrika di Cina Didiskriminasi
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Senin, 13 April 2020 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Afrika di Guangzhou, Cina, mengalami diskriminasi di tengah ketakutan virus Corona menimbulkan sentimen anti-warga asing.
Di kota Cina selatan, orang Afrika telah diusir dari rumah mereka oleh tuan tanah dan ditolak hotel, meskipun banyak yang mengklaim tidak memiliki riwayat perjalanan baru-baru ini atau kontak yang diketahui dengan pasien COVID-19.
Wawancara CNN dengan puluhan warga Afrika yang tinggal di Guangzhou menceritakan bagaimana mereka diusir dan terlantar, menjadi sasaran pengujian acak COVID-19, dan dikarantina selama 14 hari di rumah mereka, meskipun tidak memiliki gejala atau kontak dengan pasien yang dikenal.
Otoritas kesehatan di provinsi Guangdong dan Biro Keamanan Umum Guangzhou tidak menanggapi permintaan komentar.
"Sejak awal wabah koronavirus, China dan negara-negara Afrika selalu saling mendukung dan selalu berjuang melawan virus bersama," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian pada Kamis kemarin.
"Saya ingin menekankan bahwa pemerintah Cina memperlakukan semua orang asing di Cina secara setara, menentang praktik berbeda yang ditargetkan pada kelompok orang tertentu, dan tidak memiliki toleransi terhadap kata-kata dan tindakan diskriminatif," lanjutnya.
Guangzhou telah lama memiliki komunitas Afrika terbesar di Cina. Karena banyak orang Afrika di kota itu memiliki visa bisnis jangka pendek, mereka melakukan perjalanan ke Cina beberapa kali setahun, sehingga sulit untuk menghitung ukuran populasi Afrika di kota itu. Tetapi pada 2017, sekitar 320.000 orang Afrika memasuki atau meninggalkan Cina melalui Guangzhou, menurut Xinhua.
Penduduk Afrika mengatakan permusuhan lokal terhadap kehadiran mereka bukanlah hal baru. Tetapi ketika kasus virus Corona muncul di komunitas Afrika bulan ini, maka menjadi penambah ketegangan yang sudah ada.
Sebuah laporan pada 4 April menuduh bahwa seorang warga negara Nigeria dengan COVID-19 telah menyerang seorang perawat Cina yang mencoba menghentikannya meninggalkan bangsal isolasi di sebuah rumah sakit Guangzhou. Laporan itu dibagikan secara luas di media sosial. Warga Afrika di sana mengaku mendapat perlakuan rasis setelah laporan itu beredar.
Kemudian pada 7 April, otoritas Guangzhou mengatakan lima orang Nigeria dinyatakan positif COVID-19.
Khawatir dengan sekelompok masyarakat Afrika, otoritas Guangzhou meningkatkan tingkat risiko Yuexiu dan Baiyun, daerah yang menjadi rumah bagi dua kantong Afrika di kota itu, dari yang rendah ke sedang, menurut laporan media pemerintah Global Times.
Pemerintah setempat pada Selasa melaporkan 111 kasus impor COVID-19 di Guangzhou, dengan 28 pasien dari Inggris dan 18 dari AS. Dalam wawancara dengan CNN, warga negara Amerika dan Inggris di Guangzhou mengatakan mereka belum mendengar laporan pengujian paksa, penggusuran di rumah dan tindakan karantina tambahan yang dikenakan pada anggota komunitas mereka.
Bagaimanapun, pada hari Sabtu Konsulat AS di Guangzhou memperingatkan warga Afrika-Amerika untuk menghindari perjalanan ke kota.
Pada 21 Maret, pedagang barang Nigeria, Chuk, yang tidak ingin menggunakan nama lengkapnya karena takut akan pembalasan pemerintah, terbang kembali ke Guangzhou, rumahnya sejak 2009. Dia ingin melanjutkan bisnis perdagangannya kembali setelah virus Corona sudah mereda.
Daerah di sekitar Guangzhou adalah pusat manufaktur, tempat banyak orang Afrika membeli barang murah untuk dijual kembali ke tanah air.
Chuk kembali tujuh hari sebelum Cina menutup perbatasannya dengan sebagian besar warga negara asing, tetapi pada saat kedatangan, dia mengatakan dia diberitahu bahwa dia perlu memasuki karantina pemerintah di sebuah hotel selama dua minggu.
Sebagai seorang pedagang, Chuk sering bepergian, dan terbiasa tinggal di hotel selama waktunya di Cina.
Tetapi pada hari Selasa, Chuk mengatakan bahwa ketika ia dibebaskan, bersama dengan sekitar 15 orang Afrika lainnya, dengan pemeriksaan kesehatan yang bersih, mereka secara efektif menjadi tunawisma.
"Kami pergi ke hotel dengan sertifikat kesehatan, tetapi kami ditolak," katanya. Kelompok itu pergi ke kantor polisi untuk melaporkan bahwa hotel menolak untuk membiarkan orang Afrika tinggal, tetapi polisi menolak untuk berbicara dengan mereka.
Biro Keamanan Umum Guangzhou, yang mengawasi polisi, tidak menanggapi permintaan komentar.
Chuk mengatakan dia tidak punya pilihan selain tidur di luar selama dua malam, sebelum menemukan sofa teman untuk ditiduri. "Hujan turun pada hari itu dan berikutnya dan kami semua basah kuyup dan barang-barang kami basah kuyup," katanya.
<!--more-->
Awal pekan ini, gambar-gambar mulai beredar secara online memperlihatkan sekelompok orang Afrika yang tidur di jalan-jalan Guangzhou, di samping barang bawaan mereka, baik diusir dari apartemen mereka atau ditolak dari hotel. Video lain menunjukkan polisi melecehkan orang Afrika di jalan.
Tidak ada yang memiliki bukti ada arahan pemerintah yang meminta tuan tanah atau hotel untuk menolak orang asing. Sebaliknya, kata mereka, ini tampaknya merupakan keputusan yang dibuat oleh individu pribadi dan pemilik bisnis.
Pada hari Rabu, pedagang Nigeria bernama Nonso, yang namanya telah diubah untuk melindungi identitasnya karena takut akan pembalasan pemerintah, mengatakan ia dan pacarnya menerima pesan dari pemilik kediamnnya pada pukul 7 malam di WeChat, mengatakan bahwa mereka harus mengosongkan flat mereka sebelum jam 8 malam. "Saya katakan padanya saya tidak bisa mengosongkan dalam satu jam," kata Nonso, yang membayar 1.500 yuan sebulan (sekitar Rp 3,3 juta) untuk apartemennya di Nanhai, di pinggiran Guangzhou, dan telah tinggal di Cina selama tiga tahun.
Pukul 10 malam dia mengatakan pemiliknya datang ke flat dan memutus aliran listrik dan pasokan air.
"Saya bertanya kepada mereka, apa yang saya lakukan? Saya sudah membayar sewa sampai September dengan uang muka dua bulan. Mereka tidak memberi saya alasan apa pun," katanya.
Nonso memanggil polisi, yang membiarkan mereka tetap di apartemen untuk malam itu. Tetapi di pagi hari, Nonso mengatakan pemilik rumah kembali dengan petugas yang berbeda, yang mengatakan dia harus pergi. Nonso mengatakan dia telah berjuang untuk menemukan apartemen baru untuk disewa. "Kami telah menghubungi banyak agen yang tidak satupun dari mereka menyewakan kepada orang asing berkulit hitam," katanya.
Chris Leslie, juga dari Nigeria, mengatakan dia tiba-tiba diusir dari apartemennya di Guangzhou pada hari Kamis, meskipun tidak membayar sewa dan memiliki kontrak yang sah. Dia tidak punya tempat tidur malam itu. "Saya hanya akan berdiam di luar," katanya. "Itu sangat menyedihkan. Di negara di mana orang tidak menerima Anda dan mereka mengkritik, ini hanya penghinaan pahit. Yang paling penting adalah tempat untuk ditiduri."
Duta besar Afrika di Cina telah menulis surat kepada menteri luar negeri Cina atas diskriminasi terhadap orang Afrika ketika negara itu berupaya mencegah gelombang baru virus Corona, menurut laporan Reuters.
Beberapa negara Afrika secara terpisah juga menuntut agar Cina mengatasi kekhawatiran mereka bahwa orang Afrika, khususnya di kota Guangzhou selatan, dianiaya dan dilecehkan karena alasan khawatir virus Corona.