Pintu Sinagoga Selamatkan Yahudi di Jerman dari Pembantaian
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Sabtu, 12 Oktober 2019 15:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kalau bukan karena pintu kayu gelap sinagoga, pihak berwenang Jerman mengatakan, Stephan Balliet mungkin telah melakukan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang telah ia rencanakan untuk disiarkan langsung ke seluruh dunia.
Teroris memilih hari Yom Kippur karena tahu sinagoga di Halle, Jerman, berasumsi bahwa sinagoga akan dipenuhi dengan jamaah.
Tetapi selama setiap kebaktian, hanya ada pintu tebal dan sempit yang pegangan luarnya dilepas dan dikunci dari dalam. Pintu itu berfungsi sebagai satu-satunya perlindungan bagi komunitas Yahudi Halle dari dunia luar. Pada hari Rabu, pintu menyelamatkan nyawa 51 orang Yahudi dari daerah itu dan sekelompok pengunjung muda internasional, termasuk 10 orang Amerika, yang datang bersama mereka pada hari paling suci dalam kalender Yahudi, menurut laporan New York Times, 12 Oktober 2019.
Dalam manifestor penuh kebencian yang dia terbitkan online, Balliet, 27 tahun, menjelaskan bahwa dia telah memilih targetnya dengan harapan untuk membunuh sebanyak mungkin orang Yahudi. Rekaman dari kamera yang ia ikat ke helm menunjukkan bom yang tampaknya gagal meledak, dalam upaya untuk menembus pintu sinagoga. Dia kemudian menembaki pintu tak lama sebelum tengah hari pada hari Rabu.
Karena gagal masuk, Balliet malah menodongkan senjatanya pada seorang perempuan yang lewat, menembaknya dari belakang. Korban diidentifikasi hanya sebagai Jana L., 40. Korban ambruk ke tanah. Dia kemudian menembakkan dua tembakan lagi ke arahnya, sebelum berkendara ke toko kebab di dekatnya.
Di dalam sinagoga, Ezra Waxman, seorang mahasiswa matematika dari Boston yang sedang belajar di Universitas Teknik Dresden, mengatakan jamaah berada di tengah-tengah kebaktian ketika mereka mendengar ledakan besar. Dia mengira sesuatu telah jatuh, atau seorang pria yang lebih tua telah ambruk.
Mereka menghentikan layanan setelah suara keras lainnya, dan kemudian sesuatu yang terdengar seperti tembakan senapan mesin, katanya.
Pada saat itu, Max Privorozki, pemimpin ibadah, mengirim sebagian besar jamaah ke ruangan lain yang tidak berjendela, sementara ia membarikade pintu. Dia kemudian memeriksa dengan sukarelawan yang memonitor kamera keamanan di pintu.
Gambar menunjukkan penyerang bersenjata berat di sisi lain. Mereka segera memanggil polisi. Pada saat polisi tiba, delapan menit kemudian, Balliet telah pergi, kata Holger Stahlknecht, pejabat tinggi keamanan untuk Negara Bagian Saxony-Anhalt.
"Merupakan keajaiban bahwa pintu itu menahannya," kata Privorozki dalam sebuah wawancara pada hari Kamis. "Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya tidak."
Dalam sebuah manifesto, ditulis dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan di internet sebelum dia melakukan serangan, Balliet mengatakan dia telah mempertimbangkan untuk menyerang sebuah masjid, tetapi memutuskan bahwa orang-orang Yahudi merupakan ancaman yang lebih besar.
"Jika saya gagal dan mati tetapi membunuh satu orang Yahudi, itu sepadan," tulisnya dalam manifesto yang ditemukan oleh para peneliti di Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi dan Kekerasan Politik, sebuah organisasi penelitian di King’s College London. "Lagipula, jika setiap Orang Putih membunuh hanya satu, kita menang."
Ketika gagal di sinagoga, ia berkendara ke toko kebab terdekat, tempat Rifart Tekin, ayah dari dua anak kecil, hendak menyiapkan sandwich.
Balliet melemparkan granat buatan sendiri ke pintu, lalu berteriak dan melepaskan tembakan. Dia membunuh Kevin S., seorang penggemar klub tim sepak bola Halle berusia 20 tahun, yang bekerja di dekatnya dan sedang istirahat makan siang dengan seorang rekan.
Balliet kemudian kembali ke mobilnya dan melarikan diri dari tempat kejadian, tetapi polisi telah menyusulnya saat itu. Para petugas melepaskan tembakan, menyerempetnya di leher, tetapi Balliet melarikan diri ke kota terdekat, Wiedersdorf.
Di sana, ia meninggalkan mobilnya, yang menurut pihak berwenang dipenuhi dengan sekitar satu kilogram bahan peledak, dan mencuri mobil seorang sopir taksi untuk kabur.
Setelah Balliet mengalami kecelakaan dengan taksi curian, polisi menangkapnya dan jaksa federal mengambil alih penyelidikan, dengan dugaan pembunuhan dalam keadaan khusus.
Rekaman dari kamera yang dipasang di helmnya membantu pihak berwenang menyatukan urutan kejadian, kata Stahlknecht, pejabat keamanan.
Selama pengejaran teroris, mereka yang beribadah di dalam sinagoga Humboldt Street melanjutkan ibadah dengan doa dan nyanyian, dipenuhi dengan suasana khidmat.
Baru kemudian mereka mengetahui ketika teroris gagal menyerang jamaah Yahudi di dalam sinagoga, dua orang telah menjadi korban penembakan Balliet.