Apa Reaksi Perempuan Arab Saudi Soal Revisi UU Perwalian?
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Senin, 22 Juli 2019 13:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Revisi untuk melonggarkan undang-undang perwalian Arab Saudi diterima perempuan Arab Saudi dengan rasa harap bercampur skeptis.
Baru-baru ini media Arab Saudi melaporkan bahwa pemerintah berencana untuk melonggarkan hukum perwalian, yang mewajibkan perempuan mendapat izin dari laki-laki, jika ingin menikah, sekolah atau masuk universitas, memohon paspor atau berpergian keluar negeri.
Muna Abu Sulayman, seorang presenter televisi Saudi yang terkenal, men-tweet bahwa dia tersenyum setelah membaca berita tersebut.
"Perjalanan panjang, 2 tahun yang lalu kami diberitahu segera," tulisnya, merujuk pada serangkaian reformasi yang diluncurkan pada 2017 oleh pemimpin de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang telah berjanji untuk mengembalikan negara itu ke bentuk yang lebih moderat.
Selama dua tahun terakhir, Pangeran Mohammed telah memenuhi janji untuk meliberalisasi beberapa pembatasan pada perempuan, seperti mencabut larangan mengemudi perempuan dan menghadiri acara olahraga di arena. Tetapi perubahan telah terhenti, membuat banyak perempuan Saudi skeptis.
Mengutip laporan New York Times, 22 Juli 2019, salah satu surat kabar harian kerajaan, Okaz, melaporkan bulan ini bahwa pemerintah telah membentuk sebuah komite untuk mempelajari prospek menghapus persyaratan perwalian untuk perempuan di atas 18 tahun. Seorang juru bicara Kedutaan Besar Saudi di Washington, yang bertugas menangani komunikasi dengan outlet berita Barat, belum mengkonfirmasi laporan berita tersebut.
Juru bicara itu mengatakan bahwa memberdayakan perempuan Arab Saudi adalah salah satu inisiatif utama yang diumumkan oleh Pangeran Mohammed.
"Pemerintah terus mengevaluasi kemanjuran hukum dan peraturan Arab Saudi untuk memastikan bahwa kerajaan terus membuat langkah menuju kesetaraan gender yang lebih besar," tambahnya.
Spekulasi tentang undang-undang perwalian sebagian diangkat oleh Pangeran Mohammed. Pada April 2018, ia memberi tahu Jeffrey Goldberg dari The Atlantic bahwa ia ingin memperbarui undang-undang.
"Itu tidak kembali ke zaman Nabi Muhammad," katanya. "Pada 1960-an, perempuan tidak bepergian dengan wali pria. Tapi itu terjadi sekarang, dan kami ingin melanjutkan dan mencari cara untuk memperlakukan ini yang tidak membahayakan keluarga dan tidak merusak budaya."
Undang-undang perwalian yang membatasi perempuan Saudi didasarkan pada interpretasi Islam yang keras di Arab Saudi. Saat lahir, ayah seorang gadis ditunjuk sebagai wali sahnya dan begitu seorang perempuan menikah, suaminya menjadi wali sahnya.
Jika suaminya meninggal, perwalian dipindahkan ke putranya atau anggota keluarga laki-laki lainnya, dan seorang perempuan yang bertentangan dengan keinginan wali dapat ditangkap.
Banyak pembicaraan tentang kemungkinan reformasi undang-undang perwalian terjadi di media sosial. Sementara beberapa perempuan bersuka cita atas gagasan itu, yang lain mengatakan menolaknya sebagai aksi pencitraan.
Twitter dan Instagram mulai membahas isu ini dengan reaksi mulai dari meme yang lucu dan skeptis hingga pesan yang melegakan.
Tetapi beberapa di Twitter, termasuk komentator pria konservatif, mengecam gagasan itu. Seorang menulis bahwa perubahan didorong oleh pengaruh Amerika dan akan mengarah pada korupsi kerajaan.
Souad Al-Shammary, yang telah lama mengadvokasi hak-hak yang lebih besar bagi perempuan Saudi dan merupakan pendiri kelompok Jaringan Liberal Saudi, men-tweet pujiannya kepada pemerintah karena mempertimbangkan untuk mencabut hukum perwalian.
"Aku berkata kepadamu bahwa undang-undang itu akan dihapus," katanya, "kita akan mengingat hari ini, roda waktu tidak akan mundur."
<!--more-->
Peran perempuan dalam kehidupan publik Arab Saudi telah lama diatur dengan ketat, tetapi media sosial telah menawarkan ruang bagi perempuan untuk menentang pembatasan itu.
Beberapa telah menggunakan media sosial untuk menantang undang-undang perwalian secara langsung, berbagi cerita tentang melarikan diri dari negara tanpa persetujuan wali mereka. Tetapi bagi mereka yang tinggal di negara ini, bahkan berbicara di media sosial bisa berisiko. Al-Shammary telah dipenjara sebelumnya karena men-tweet kritiknya terhadap norma agama yang ketat di Arab Saudi.
Perkembangan terakhir datang sedikit lebih dari setahun setelah berakhirnya larangan mengemudi, kebijakan yang sejak lama dikecam oleh kaum liberal Saudi dan komunitas internasional.
Sementara pemerintah telah membuat beberapa langkah, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan ada jalan panjang yang harus ditempuh. Beberapa aktivis hak-hak perempuan terkemuka ditangkap berminggu-minggu sebelum larangan mengemudi dicabut.
Madawi Al-Rasheed, seorang antropolog Saudi di London School of Economics, mengatakan prospek reformasi undang-undang perwalian mungkin muncul kembali sekarang dalam upaya untuk melawan citra negatif tentang negara dan khususnya tentang putra mahkota.
"Saya pikir konteksnya adalah publisitas yang sangat, sangat buruk yang dibawa oleh gadis-gadis pelarian ke kerajaan," katanya, berbicara tentang meningkatnya jumlah perempuan Saudi yang oleh kelompok-kelompok hak asasi mengatakan sedang melarikan diri dari Arab Saudi.
"Mohammed bin Salman sangat ingin memperbaiki pandangan dunia tentang negara itu," tambahnya. "Insiden ini menusuk narasinya tentang Arab Saudi menjadi tempat yang aman bagi perempuan."
Al-Rasheed dan perempuan Arab Saudi lainnya skeptis bahwa potensi perbaikan akan berjalan cukup jauh.
Omaima Al-Najjar, seorang blogger dan aktivis Saudi yang tinggal di pengasingan di Italia, mengatakan laporan yang kabur bahwa undang-undang itu mungkin dipelajari tidak banyak meyakinkannya bahwa hak-hak perempuan adalah prioritas di kerajaan.
Al-Najjar mencontoh pada tunjangan anak, undang-undang hak asuh dan undang-undang perceraian yang semuanya lebih memihak laki-laki daripada perempuan Arab Saudi dan berada di luar sistem perwalian.