Maskapai Selandia Baru akan Perbolehkan Pramugari Bertato
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Selasa, 11 Juni 2019 00:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai Selandia Baru Air New Zealand mengakhiri larangan lama pada staf untuk memiliki tato setelah kebijakan tersebut dikritik karena mendiskriminasi karyawan Maori.
Beberapa warga Selandia Baru dengan darah pribumi Maori mengenakan tato di wajah atau lengan mereka yang mewakili silsilah mereka dan merupakan budaya sakral Maori.
Tetapi aturan yang seragam di maskapai nasional membatasi mereka dari melamar posisi seperti pramugari.
Baca juga: Ke Selandia Baru, Pangeran William: Kebencian Gagal Memecah Belah
Banyak aktivis budaya dan hak mengatakan kebijakan itu diskriminatif dan mencatat bahwa Air New Zealand menggunakan bahasa Maori dalam kampanye pemasarannya dan menggunakan simbol seperti pakis yang dikenal sebagai ‘koru’ dalam logonya dan di ujung pesawatnya.
Kepala eksekutif Air New Zealand Christopher Luxon mengatakan kebijakan itu dibatalkan dan tato non-ofensif akan diizinkan.
"Dalam percakapan kami dengan pelanggan dan orang-orang kami sendiri di dalam dan luar negeri dalam lima bulan terakhir, jelas bahwa ada peningkatan penerimaan tato di Selandia Baru, terutama sebagai sarana ekspresi budaya dan individu," kata Luxon, seperti dikutip dari Reuters, 10 Juni 2019.
Tania Te Whenua, kepala Te Whenua Law and Consulting yang memberikan konsultasi budaya Maori kepada organisasi, mengatakan perusahaan Selandia Baru, khususnya yang mendapat untung dari penggunaan budaya Maori dalam kampanye pemasaran internasional, harus menghormati hak budaya staf mereka.
Baca juga: Pertama Kali, Al Quran Berkumandang di Parlemen Selandia Baru
"Itu adalah kekurangan dari merangkul budaya Maori dan budaya lain oleh organisasi hanya sejauh itu menghasilkan untung...yang membuat orang Maori kecewa," katanya.
Tato, yang dikenal sebagai 'T Moko' adalah ekspresi identitas budaya yang sangat sakral, kata Te Whenua seraya menambahkan, kebijakan perusahaan Selandia Baru yang berupaya meredam tradisi semacam itu menyulitkan warga Maori untuk bekerja.