Tujuan Korea Utara Gelar Pemilu Legislatif

Selasa, 12 Maret 2019 16:00 WIB

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un memasukan surat suara saat Pemilu anggota badan legislatif di Korea Utara, 10 Maret 2019. Rakyat Korea Utara memilih para anggota badan legislatif yang bernama Majelis Tertinggi Rakyat (SPA). KCNA via REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Pada Ahad kemarin, warga Korea Utara ikut pemilu untuk memilih anggota parlemen, meskipun Korea Utara dikuasai oleh partai tunggal, Partai Buruh, yang mengusung penguasa dinasti.

Namun, Korea Utara tetap menggelar pemilu lima tahunan untuk memilih anggota Majelis Rakyat Tertinggi, parlemen Korea Utara.

Dikutip dari South China Morning Post, warga Korut memilih satu nama pada masing-masih surat suara, sesuai dengan slogan Pyongyang "Satu Pikiran".

Baca: Korea Utara Diduga Lanjutkan Program Nuklir, Trump Siap Kecewa

Para pemilih memiliki kesempatan untuk mencoretnya sebelum memberikan suara mereka, tetapi tidak diketahui bagaimana praktiknya.

Advertising
Advertising

Menurut kantor berita Korut KCNA, jumlah pemilih yang terakhir kali adalah 99,97 persen, hanya mereka yang berada di luar negeri atau yang "bekerja di lautan" yang tidak ambil bagian. Dan hasilnya, pemungutan suara 100 persen mendukung calon yang disebutkan.

"Kami menganggap semua orang di negara kami sebagai satu keluarga sehingga kami akan bersatu dengan satu pikiran dan kami akan memberikan suara untuk kandidat yang disepakati," kata pejabat Serikat Perempuan Sosialis Song Yang-ran, 57 tahun.

Baca: Bantu Trump, Jimmy Carter Bersedia Temui Kim Jong Un di Korut

Umumnya, warga Korea Utara selalu menyatakan dukungan total kepada pihak berwenang ketika berbicara kepada media asing.

"Sistem kami adalah yang terbaik," kata Song ketika ditanya pendapatnya tentang pemilihan yang tertera beberapa nama di kertas surat suara.

"Kami tidak kenal siapapun kecuali pemimpin tertinggi (Kim Jong Un)," tambahnya.

Para pengamat menilai, karena tidak adanya kompetisi dalam pemilihan legislatif, maka pemungutan suara sebagian besar dilakukan sebagai ritual politik untuk memungkinkan pihak berwenang mengklaim mandat dari rakyat.

"Ini adalah hasil dari kelembaman kelembagaan yang mapan dan kebutuhan untuk melegitimasi pemerintah dengan mensimulasikan prosedur demokratis," kata Andrei Lankov dari Korea Risk Group.

Negara-negara Komunis bergaya Uni Soviet memiliki tradisi panjang dalam menyelenggarakan pemilihan umum, katanya, bahkan jika partai yang berkuasa mengabaikan aturannya sendiri tentang mengadakan kongres reguler, kongres yang tidak pernah lagi diselenggaraan Korea Utara selama lebih dari 30 tahun.

"Korea Utara hanya meniru semua negara Komunis lainnya," katanya.“Komunis masa-masa awal percaya bahwa mereka menghasilkan demokrasi yang belum pernah dilihat dunia. Jadi mereka membutuhkan pemilihan dan itu menjadi bagian yang sangat penting dari legitimasi diri."

Pemerintahan terakhir dari sebuah negara besar yang menolak pemilu adalah Nazi Jerman, kata Lankov.

Sejumlah warga Korea Utara, mengantre untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu anggota badan legislatif di Korea Utara, 10 Maret 2019. Jumlah pemilih sah yang terakhir kali terdaftar dalam pemilu kali ini adalah 99,97%, menurut kantor berita resmi KCNA. KCNA via REUTERS

Korea Utara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan, ada 686 dapil pada pemilihan terakhir pada tahun 2014, ketika Kim Jong Un berdiri di Gunung Paektu, gunung berapi aktif di perbatasan dengan Cina yang dipuja sebagai tempat kelahiran spiritual rakyat Korea.

Dia menerima partisipasi 100 persen dan 100 persen mendukung, menurut KCNA.

Beberapa kursi dialokasikan untuk dua partai kecil, Partai Sosial Demokrat Korea dan Partai Chondoist Chongdu, yang berakar pada gerakan keagamaan Korea abad ke-20.

Foto: Begini Suasana Korea Utara saat Melakukan Pemilu Legislatif

Mereka berdua dalam aliansi formal dengan partai yang berkuasa. Pengamat dan diplomat mengatakan mereka ada hanya "di atas kertas", dengan kantor pusat kecil yang dikelola untuk tujuan propaganda.

Meski begitu, partisipasi dalam pemilu, seperti ritual wajib propaganda lainnya di Korea Utara, untuk memperkuat kesetiaan kepada pemerintah dan persatuan sosial, karena manusia suka simbolisme," kata Lankov.

Berita terkait

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

1 hari lalu

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

Hakim MK Arief Hidayat menegur komisioner KPU yang tak hadir dalam sidang PHPU Pileg Panel III. Arief menilai KPU tak menganggap serius sidang itu.

Baca Selengkapnya

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

2 hari lalu

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyakini partainya masuk ke Senayan pada pemilu 2029 mendatang.

Baca Selengkapnya

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

4 hari lalu

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB Indonesia tahun 2024 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

7 hari lalu

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.

Baca Selengkapnya

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

7 hari lalu

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan, badan Adhoc Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), harus diseleksi lebih ketat dan terbuka untuk menghindari politik transaksional.

Baca Selengkapnya

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

7 hari lalu

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

Pakar Hukum Universitas Andalas atau Unand memberikan tanggapan soal putusan MK dan dissenting opinion.

Baca Selengkapnya

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

8 hari lalu

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

Tim kampanye Joe Biden berkata mereka tidak akan berhenti menggunakan TikTok, meski DPR AS baru mengesahkan RUU yang mungkin melarang penggunaan media sosial itu.

Baca Selengkapnya

PDIP Menang Hattrick dalam Pileg 2024, Hasto Ucapkan Terima Kasih ke Rakyat

11 hari lalu

PDIP Menang Hattrick dalam Pileg 2024, Hasto Ucapkan Terima Kasih ke Rakyat

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sampaikan terima kasih partai banteng kepada rakyat pendukungnya atas kemenangan hattrick dalam Pileg 2024.

Baca Selengkapnya

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

12 hari lalu

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

Ketua Umum PSI yang juga putra Jokowi, Kaesang Pangarep usulkan pemilu selanjutnya dengan sistem proporsional tertutup karena marak politik uang.

Baca Selengkapnya

Menkominfo Ungkap Kesan Pertemuan Tim Cook Apple dan Prabowo

14 hari lalu

Menkominfo Ungkap Kesan Pertemuan Tim Cook Apple dan Prabowo

Budi Arie Setiadi mengatakan Tim Cook mengapresiasi hasil pemilu presiden Indonesia atas terpilihnya Prabowo.

Baca Selengkapnya