Donald Trump Berkicau di Twitter, Harga Minyak Dunia Turun
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Kamis, 5 Juli 2018 14:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak kembali turun pada Kamis 5 Juli kemarin setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkicau di Twitter menuntut OPEC harus memangkas harga minyak mentah.
Semakin sengitnya perang dagang Amerika Serikat dan Cina, yang memicu instabilitas saham Asia pada Kamis, juga dirasakan di pasar minyak, setelah Cina memperingatkan pihaknya dapat memperkenalkan bea masuk atas impor minyak mentah AS pada tanggal yang belum ditentukan.
Baca: Iran Kembali Buka Fasilitas Nuklir, AS Ancam Potong Minyak Iran
Minyak mentah Brent berjangka LCOc1 berada di kisaran US$ 77,68 atau Rp 1.119.081,75 per barel, turun 56 sen, atau 0,7 persen, dari penutupan terakhir per Kamis 5 Juli.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) di AS, CLc1 turun 45 sen, atau 0,6 persen, pada US$ 73,69 atau Rp 1.061.657,78 per barel.
Donald Trump menuduh Organisasi Negara Pengekspor Minyak, OPEC, sengaja menaikkan harga bahan bakar minyak.
"Turunkan harga sekarang!" kicau Donald Trump kepada OPEC.
OPEC bersama dengan kelompok produsen non-OPEC yang dipimpin oleh Rusia mulai menahan produksi pada 2017 untuk menopang harga.
Kenaikan harga baru-baru ini juga telah didorong oleh pengumuman AS bahwa pihaknya berencana untuk memperkenalkan kembali sanksi terhadap Iran pada November, yang menargetkan ekspor minyak Iran.
"Pendorong utama kenaikan harga adalah kesepakatan OPEC-Rusia untuk memangkas produksi minyak, diperparah dengan menurunkan produksi Venezuela dan keputusan AS untuk mengakhiri kesepakatan Iran," tulis National Australia Bank (NAB), seperti dilaporkan Reuters, 5 Juli 2018.
Baca: Turki Tolak Desakan AS Hentikan Impor Minyak Iran
OPEC dan Rusia mengumumkan pada Juni bahwa mereka bersedia untuk meningkatkan produksi untuk mengatasi kekhawatiran kekurangan pasokan yang muncul akibat gangguan yang tidak direncanakan dari Venezuela ke Libya, dan kemungkinan juga untuk menggantikan potensi penurunan pasokan Iran karena sanksi AS.
Sementara itu, dilansir dari Associated Press, Abu Dhabi National Oil Co. yang dikelola pemerintah UEA mengeluarkan pernyataan bahwa mereka memiliki kapasitas produksi minyak 3,3 juta barel per hari. Mereka mengatakan akan meningkatkan kapasitas produksi menjadi 3,5 juta barel per hari pada akhir 2018."
Perusahaan itu juga mengatakan memiliki kemampuan untuk meningkatkan produksi minyak dengan beberapa ratus ribu barel minyak per hari, jika ini diperlukan untuk membantu meringankan kekurangan pasokan potensial di pasar.
Abu Dhabi National Oil Co. sebelumnya mengumumkan pada November akan menambah kapasitasnya menjadi 3,5 juta barel minyak per hari. Ini menghasilkan sekitar 2,8 juta barel minyak per hari pada bulan Mei, menurut angka terbaru yang dirilis oleh OPEC.
Pada Sabtu, Trump menulis di Twitter bahwa ia telah menerima jaminan dari Raja Salman dari Arab Saudi bahwa kerajaan saudi akan meningkatkan produksi minyak, "mungkin hingga 2.000.000 barel" untuk mengatasi gejolak di Iran dan Venezuela.
Arab Saudi mengkonfirmasi hal ini, tetapi tidak menyebutkan target produksi. Arab Saudi saat ini memproduksi rata-rata 10 juta barel minyak mentah setiap hari.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan Cina memperingatkan bahwa tarif yang diusulkan Amerika Serikat pada barang-barang Cina akan memukul rantai pasokan internasional. Amerika Serikat berencana memberlakukan tarif pada impor Cina senilai US$ 34 miliar atau Rp 489 miliar pada Jumat 6 Juli.
Baca: Cina Bersiap, Amerika Serikat Terapkan Tarif Impor pada 6 Juli
Bea cukai Cina mengatakan di situs webnya akan memberlakukan tarif balasan atas barang-barang AS, termasuk minyak mentah AS. Namun, pemerintah Cina belum menetapkan tanggal untuk menerapkan bea masuk impor minyak mentah AS. Impor minyak mentas AS ke Cina sekitar 400.000 barel per hari pada bulan Juli, yang bernilai sekitar US$ 1 miliar atau Rp 14,4 triliun.
Jika tarif minyak diberlakukan, bea impor sebesar 25 persen akan membuat minyak mentah AS tidak kompetitif di Cina, dan memaksa penyulingnya untuk mencari pasokan alternatif menggantikan minyak dari AS.