Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2014 atau Conference of The Parties United Nations Framework Convention on Climate Change ke-20 di Lima, Peru. (TEMPO/Shinta Maharani)
TEMPO.CO, Lima - Indonesia mengklaim telah sukses menerapkan mitigasi emisi karbon untuk sektor pertanian. Kisah sukses mitigasi ini muncul dalam Konferensi Para Pihak atau United Nations Framework Convention on Climate Change ke-20 dan Kyoto Protokol ke-10 di Lima, Peru, 1-12 Desember 2014. (Perdebatan Emisi di Konferensi Perubahan Iklim )
Peneliti dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Pati-Klaten, Jawa Tengah, A.Wihardjaka menceritakan kisah sukses Provinsi Jawa Tengah. Indonesia melakukan mitigasi terhadap emisi karbon di sektor pertanian. Dia mencontohkan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang berhasil mengintegrasikan pertanian dan peternakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Pati merupakan daerah dengan curah hujan rendah, sehingga petani mengandalkan hujan untuk pertanian. Upaya mitigasi yang diterapkan adalah membuat embung untuk menampung air hujan. Ini bermanfaat setelah masa panen pertama. “Ketika kekeringan tiba, embung menyelamatkan petani,” katanya. (Tari Indonesia Buka Konferensi Iklim di Lima, Peru)
Menurut dia, mitigasi penduduk Pati ini penting untuk menjaga ketersediaan pangan. Mereka memiliki cara untuk memenuhi kebutuhan pangan, yakni menanam tanaman pertanian secara bergilir. Padi ditanam terlebih dahulu, kemudian jagung. Petani juga sudah mahir memilih varietas padi dengan emisi yang rendah, misalnya petani menggunakan jenis padi Ciherang yang bisa menurunkan emisi sebanyak 20-50 persen.
Sedangkan, di sektor peternakan, penduduk Pati memanfaatkan kotoran sapi yang diolah menjadi biogas untuk dijadikan pupuk, sehingga kesuburan tanah terjaga. menurut hasil hitungan, dua ekor sapi di Pati bisa menghasilkan 4,8 liter gasoline yang bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak bumi. (Tari Indonesia Buka Konferensi Iklim di Lima, Peru)
Sekretaris Kelompok Kerja Mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim Lawin Bastian Tobing menyatakan, hitungan emisi karbon saat ini berdasarkan angka rata-rata pada 2006-2011. Setidaknya, emisi karbon yang dihasilkan di lahan mencapai 670 ton gas karbon dioksida. Emisi ini tidak berasal dari sektor industri, tetapi aktivitas pertanian. Angka itu berasal dari praktek pemberian pupuk. Bahan organik pupuk ini teremisi dalam bentuk gas metana.
Ada pula sendawa hewan ternak pemamah biak, yakni sapi dan kuda yang menghasilkan gas metana. Makanan hewan ternak berupa rumput yang semakin kasar menghasilkan metana yang semakin banyak jumlahnya. Ia menyarankan peternak untuk mengganti makanan hewan ternak dari rumput ke tanaman kacang-kacangan. “Metananya bisa turun tidak lebih dari 10 persen,” katanya.