TEMPO.CO, Washington - Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendesak senator AS untuk menunda usulan sanksi lebih ketat terhadap Iran. Langkah ini diperlukan, katanya, untuk memberikan waktu bagi kekuatan dunia guna menyelesaikan kesepakatan mengenai program nuklir Iran.
Seorang juru bicara Gedung Putih memperingatkan, jika kesepakatan dengan Teheran tidak tercapai, negara itu akan terus memperkaya uranium.
Utusan dari Iran dan P5 +1--kelompok negara yang terlibat diskusi tentang program nuklir Iran--akan memulai babak baru perundingan di Jenewa pada hari Rabu. Menteri Luar Negeri Iran mengatakan percaya masalah bisa diselesaikan.
Dalam pesannya di situs video-sharing YouTube, Javid Zarif mengatakan mereka mengharapkan dan menuntut respek terhadap martabat negara itu. "Bagi kami warga Iran, energi nuklir bukan soal bergabung dan kelompok mana atau mengancam siapa. Energi nuklir adalah tentang lompatan, tentang melompat. Kami menentukan nasib kami sendiri daripada membiarkan orang lain memutuskan sesuatu untuk kami," katanya.
Presiden Obama mengadakan dua jam pembicaraan dengan para senator di Gedung Putih, pada hari Selasa, bersama Menteri Luar Negeri John Kerry dan Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice. Sekretaris Pers Jay Carney menjelaskan, Obama mengatakan kepada senator bahwa sanksi baru akan lebih efektif sebagai konsekuensi jika Iran menolak untuk menerima kesepakatan kemudian gagal untuk mematuhinya.
Dalam beberapa hari terakhir, sebagian legislator AS telah menyatakan keprihatinan bahwa Gedung Putih bergerak terlalu cepat dan harus mengambil garis keras dengan Teheran.
Sejak tahun 2006, Dewan Keamanan PBB telah memberlakukan serangkaian sanksi terhadap entitas dan orang yang terlibat dalam program nuklir Iran. Iran menyatakan program nuklirnya untuk tujuan damai, tetapi AS dan sekutunya mencurigai Teheran sedang mencoba untuk mengembangkan senjata nuklir.
BBC | TRIP B
Berita terkait
Indonesia Sumbang 1,09 Persen Kasus Covid-19 Dunia
7 Februari 2021
Indonesia saat ini menempati urutan ke-19 kasus sebaran Covid-19 dari 192 negara.
Baca SelengkapnyaOrient Riwu Kore Mengaku Ikut Pilkada Sabu Raijua karena Amanat Orang Tua
6 Februari 2021
Bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Riwu Kore, mengungkapkan alasannya mengikuti pemilihan kepala daerah 2020
Baca SelengkapnyaTidak Lagi Jadi Presiden, Pemakzulan Donald Trump Tak Cukup Kuat
4 Februari 2021
Tim pengacara Donald Trump berkeras Senat tak cukup kuat punya otoritas untuk memakzulkan Trump karena dia sudah meninggalkan jabatan itu.
Baca SelengkapnyaKeluarga Korban Sriwijaya Air SJ 182 Diminta Tak Teken Release And Discharge
3 Februari 2021
Pengacara keluarga korban Lion Air JT 610 meminta ahli waris korban Sriwijaya Air SJ 182 tidak meneken dokumen release and discharge atau R&D.
Baca SelengkapnyaKrisis Semikonduktor, Senator Amerika Desak Gedung Putih Turun Tangan
3 Februari 2021
Pada 2019 grup otomotif menyumbang sekitar sepersepuluh dari pasar semikonduktor senilai 429 miliar dolar Amerika Serikat.
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Longgarkan Aturan soal Imigran Suriah
30 Januari 2021
Imigran dari Suriah mendapat kelonggaran aturan sehingga mereka bisa tinggal di Amerika Serikat dengan aman sampai September 2022.
Baca SelengkapnyaTutorial Membuat Bom Ditemukan di Rumah Pelaku Kerusuhan US Capitol
30 Januari 2021
Tutorial pembuatan bom ditemukan di rumah anggota kelompok ekstremis Proud Boys, Dominic Pezzola, yang didakwa terlibat dalam kerusuhan US Capitol
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Kecam Pembebasan Pembunuh Jurnalis Oleh Pakistan
29 Januari 2021
Pemerintah Amerika Serikat mengecam pembebasan pembunuh jurnalis Wall Street, Journal Daniel Pearl, oleh Mahkamah Agung Pakistan.
Baca SelengkapnyaAmerika Serikat Izinkan Pensiunan Dokter Lakukan Vaksinasi Covid-19
29 Januari 2021
Pemerintah Amerika Serikat kini mengizinkan dokter dan perawat yang sudah pensiun untuk memberikan suntikan vaksin Covid-19
Baca SelengkapnyaJenderal Israel Minta Joe Biden Tidak Bawa AS Kembali Ke Perjanjian Nuklir Iran
27 Januari 2021
Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Aviv Kochavi mengatakan hal yang salah jika AS kembali ke perjanjian nuklir Iran
Baca Selengkapnya