Pahit Perang Rusia Akan Dialami Amerika Serikat di Afganistan
Kamis, 3 Desember 2009 18:01 WIB
Pasukan Amerika yang modern dan banyak jumlahnya, tampak seperti sedang dipermalukan oleh segelintir kelompok gerilyawan. Apalagi kelompok tersebut semakin keras berupaya membuat pemerintahan sendiri di Kabul.
Hal itu banyak dilontarkan para mantan veteran perang Soviet dan kalangan pengamat di Moskow, dengan menilai Amerika tidak akan mampu menciptakan kestabilan kondisi di Afganistan, yang memiliki kekuatan lebih dari 300 ribu personel militer.
Namun perbandingan seperti itu, menurut para kritikus kebijakan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, harus diwaspadai. Mereka menekankan bahwa kondisi saat perang di Uni Soviet waktu itu berbeda dengan apa yang akan dialami pasukan Amerika Serikat dan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Intinya, bisa saja kondisi berbalik dengan saat perang Uni Soviet silam.
Sejak 2001, sudah lebih dari 850 orang tentara Amerika tewas di Afganistan. Jumlah itu memang lebih kecil ketimbang jumlah prajurit Moscow yang tewas di Afganistan saat perang kedua negara tersebut, yakni 14.500 orang.
Soviet yang dulu tergabung dalam negara uni U.S.S.R bertempur melawan Afganistan, juga didera Perang Dingin, yang terkenal dengan Perang Dingin Amerika-Rusia. Dalam perang tersebut, kubu Kremlin didukung pemerintahan atheis, melawan pejuang muslim, yang diam-diam didukung Amerika, Pakistan, Iran, Cina, dan Arab Saudi.
Akhir 1980, Amerika Serikat mulai terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap pejuang muslim, dengan memberi bantuan transportasi, senjata, bahkan hingga roket anti pesawat tempur Stinger.
Kini, pasukan Amerika-Barat menghadapi pemberontak Afganistan bernama Taliban, yang cukup kuat dan mandiri dalam hal keuangan, karena ditengarai didukung perdagangan opium. Meski begitu, para pemberontak tidak mendapat dukungan dari negara manapun.
Kondisi tersebut jika dianalogikan dengan masa perang Soviet, Taliban ibarat pasukan Uni Soviet, dan pihak Amerika-Barat ibarat pejuang muslim. Di Afganistan sendiri, ada kaum komunis yang merasa lebih mampu memantau kondisi dinegaranya ketimbang Presiden Afganistan Hamid Karzai. Kaum komunis tersebut tampaknya lebih menekankan dukungan ke Negara Barat.
Rencana Presiden Obama mengakhiri konflik berkepanjangan di Afganistan memiliki kemiripan dengan strategi mantan pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev, saat mengakhiri perang dengan Afganistan 20 tahun silam.
Gorbachev memulai tampuk kekuasaan memimpin Uni Soviet pada 1985, dan memiliki kewenangan mengatur pengerahan pasukan militernya. Dia pun menerapkan kewenangannya tersebut selama satu tahun, untuk memenangkan perang. Namun setelah itu yang terjadi justru Gorbachev mengumumkan penarikan pasukannya.
AP/ANGIOLA HARRY