TEMPO.CO,Washington — Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerang hakim yang memutuskan untuk membekukan sementara perintah eksekutifnya terkait dengan kebijakan imigran.
Seperti dilansir The Atlantic, Ahad, 5 Februari 2017, beberapa jam sebelum banding, Trump mengutuk pembekuan larangan warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim, dengan mempertanyakan kredibilitas Hakim Federal Amerika James Robart.
“Opini dari seseorang yang disebut hakim dan mengambil hukum dari negara, sangat menggelikan dan akan segera digugat,” demikian kicau Trump pada Sabtu waktu setempat.
Baca: Hakim Seattle Batalkan Larangan Muslim Trump Secara Nasional
Kicauan ini menuai kecaman pedas dari netizen.
Shaun King, penulis harian New York Daily News sekaligus aktivis kulit hitam Amerika, menulis dalam akun Twitter-nya, “Memalukan. 1. Dia bukan seseorang yang disebut hakim, dia adalah hakim sesungguhnya. 2. Dia adalah Republikan yang ditunjuk oleh Presiden George W. Bush.”
Sedangkan Jennifer Bendery, wartawan The Huffington Post, dalam kicauan di Twitter menyebut Hakim James Robart, “orang yang disebut hakim,” dipilih secara aklamasi oleh Senat pada 2004.
Salah satu yang menyetujui penunjukkannya adalah Senator Jeff Sessions, calon Jaksa Agung Trump.
Tak hanya netizen yang murka. “Serangan terhadap legitimasi hakim federal adalah penyalahgunaan wewenang otoritas presiden,” kata Bruce Ackerman, profesor hukum Universitas Yale. “Presiden telah menyerang dasar pemisahan kekuasaan dengan mengecam putusan hakim melalui kicauannya.”
Anggota Partai Demokrat tak kalah garang mengecam Trump.
“Kebencian Presiden terhadap sistem hukum tidak hanya memalukan, tapi juga berbahaya,” ujar Senator Vermont, Patrick Leahy. “Tampaknya dia (Trump) berniat menciptakan krisis konstitusional.”
Hakim Federal Amerika James Robart memerintahkan penghentian sementara larangan masuk bagi warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim.
Ketujuh negara itu adalah Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman, yang dianggap berbahaya karena diduga menjadi lokasi koordinasi dan operasi kelompok teroris.
Keputusan itu diambil James Robart setelah mempertimbangkan tuntutan yang diajukan jaksa dari empat negara bagian Amerika.
Departemen Luar Negeri Amerika sebelumnya melaporkan sedikitnya 60 ribu visa warga asing dicabut menyusul kebijakan itu.
THE ATLANTIC | THE NEW YORK TIMES | SITA PLANASARI AQUADINI