TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Amnesty International dan Judicial System Monitoring Programme (JSMP) meminta Parlemen Republik Timor Leste secepatnya membahas dua rancangan undang-undang tentang tindakan memberikan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Delapan belas bulan berlalu, tapi Parlemen belum membahas rancangan undang-undang tersebut. "Apalagi membuat perubahan yang diperlukan," kata juru kampanye Indonesia dan Timor Leste Amnesty International, Josef Roy Benedict, Jumat, 3 Februari 2012.
Kedua draf UU tersebut dikirim ke parlemen untuk pertama kalinya pada Juni 2010, dengan tujuan membentuk program reparasi nasional dan sebuah Institut Memori Publik. Kata Josef, amandemen yang signifikan harus dilakukan agar kedua undang-undang tersebut menerapkan penuh hak-hak korban atas pemulihan yang efektif. "Termasuk juga reparasi penuh sesuai yang disyaratkan oleh hukum hak asasi manusia internasional."
Josep menjelaskan, pada 1-3 Februari 2012, Parlemen Timor Leste dijadwalkan melakukan sidang luar biasa untuk membahas rancangan UU tersebut. Tapi parlemen kemudian membatalkan pembahasan rancangan ini dalam rangka membahas rancangan undang-undang mengenai pensiun parlemen dan hukum pertanahan. "Penundaan yang terus-menerus ini menunjukkan ketidakhormatan atas penderitaan korban dan keluarga mereka."
Menurut dia, kegagalan yang berkelanjutan dalam membahas, mengubah, dan mengesahkan undang-undang ini berkontribusi pada impunitas dan ketidakadilan di Timor Leste. "Ini menimbulkan pertanyaan tentang kesediaan pemerintah dan partai politik." Untuk menjamin keadilan, kebenaran dan reparasi atas kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya semasa okupasi Indonesia atas Timor Leste. "Sangat tidak bisa diterima, korban dan para keluarganya telah menunggu dua belas tahun dan di banyak kasus lebih lama lagi," katanya.
Amnesty International dan JSMP juga mendesak Parlemen untuk membuat amendemen penting yang dibutuhkan agar undang-undang tersebut selaras dengan standar internasional. "Parlemen juga harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar Indonesia memenuhi kewajibannya berdasar hukum internasional." Agar Indonesia menyediakan reparasi penuh bagi korban Timor Leste atas kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pasukan atau agennya antara tahun 1975 dan 1999.
Pembahasan dan pengesahan dua undang-undang ini adalah langkah penting menuju implementasi rekomendasi dari Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Hal ini juga dari Komisi gabungan Indonesia dan Timor Leste yaitu Komisi Kebenaran dan Persahabatan."
AFRILIA SURYANIS