Membingkai Narasi
Rad berpendapat bahwa bahasa yang digunakan dalam liputan Barat sering kali tidak menekankan tanggung jawab Israel atas korban sipil.
Ketika serangan Israel menghantam sekolah atau kamp pengungsi, misalnya, laporan dibuat sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa warga sipil di sana terkena dampak buruk dalam upaya Israel untuk menargetkan Hamas atau Hizbullah.
“Hukum humaniter internasional tidak berlaku seperti itu,” tegas Rad, seraya menambahkan bahwa Israel, sebagai negara yang melakukan serangan, mempunyai tanggung jawab untuk menghindari jatuhnya korban sipil. Kurangnya akuntabilitas dalam pemberitaan, menurutnya, mendistorsi realitas situasi di lapangan.
Penamaan dan Akuntabilitas
Salah satu isu yang paling mencolok adalah keengganan media Barat untuk secara langsung menyebut Israel sebagai pelaku kekerasan yang mengakibatkan kematian warga sipil. Rad menggambarkan bagaimana berita utama tentang warga Palestina yang dilempar oleh tentara Israel dari atap rumah di Tepi Barat dibingkai sebagai “tubuh tak bernyawa,” sesuatu yang tidak terpikirkan jika korbannya adalah orang Israel.
Kata-kata ini, menurutnya, tidak hanya membersihkan kekerasan tetapi juga menyiratkan bahwa orang-orang Palestina kurang layak mendapatkan empati atau keadilan.
Rad juga mengkritik normalisasi Israel yang “menyelidiki dirinya sendiri” setelah melakukan potensi kejahatan perang, sebuah praktik yang dia yakini telah diinternalisasikan oleh wacana politik dan pemberitaan media. “Ketika Anda melihat pola penyajian informasi yang berulang-ulang, hal itu menjadi normal hingga masyarakat menerimanya tanpa mempertanyakannya,” dia memperingatkan.
Kemarahan Selektif dan Dehumanisasi
Ada juga perbedaan mencolok dalam cara media meliput korban Israel dan Palestina, kata Rad, sambil mengutip kisah “40 bayi yang dipenggal” oleh pejuang perlawanan Palestina pada 7 Oktober yang kini terbantahkan. Ini sebagai contoh betapa cepatnya disinformasi dapat menyebar dan bagaimana media melanggengkan kemarahan secara selektif.
Kisah tersebut tetap beredar bahkan setelah terbukti palsu, sementara laporan dan rekaman terverifikasi mengenai anak-anak Palestina yang terbunuh di Gaza kurang mendapat perhatian.
Kemarahan selektif ini, menurut Rad, adalah akibat dari dehumanisasi warga Palestina. “Warga Palestina tidak punya nama. Mereka tidak punya cerita,” katanya, membandingkannya dengan profil pribadi yang sering dipublikasikan tentang korban Israel.
Perlakuan yang tidak setara dalam narasi media, jelasnya, membuat sulit untuk memahami skala penderitaan yang dialami warga Palestina.
"Warga Palestina tidak berperikemanusiaan karena mereka tidak punya nama. Mereka tidak punya cerita. Tapi ketika ada korban di pihak Israel, Anda akan melihat profil yang membicarakan orang-orang ini karena mereka, pada kenyataannya, adalah manusia."