TEMPO.CO, Jakarta - Atlet Olimpiade Uganda Rebecca Cheptegei meninggal empat hari setelah dibakar oleh pacarnya, kata ketua Olimpiade negara itu pada Kamis 5 September 2024.
“Kami telah mengetahui kematian yang menyedihkan dari atlet Olimpiade kami Rebecca Cheptegei … menyusul serangan kejam yang dilakukan pacarnya,” kata Presiden Komite Olimpiade Uganda (UOC) Donald Rukare dalam sebuah postingan di X.
Atlet berusia 33 tahun ini meninggal karena luka bakar yang dideritanya ketika pacarnya menuangkan bensin ke tubuhnya dan membakarnya di Kenya, menjadikannya atlet putri ketiga yang terbunuh di negara tersebut sejak Oktober 2021.
“[Cheptegei] meninggal hari ini pagi setelah organnya gagal,” Owen Menach, direktur senior layanan klinis di Rumah Sakit Pengajaran dan Rujukan Moi (MTRH), mengatakan kepada kantor berita Reuters.
Ia menambahkan bahwa laporan lengkap mengenai keadaan kematiannya akan dipublikasikan dirilis pada Kamis sore waktu setempat.
Peter Ogwang, menteri pendidikan dan olahraga Uganda, menggambarkan kematiannya sebagai sesuatu yang “tragis”.
“Pihak berwenang Kenya sedang menyelidiki penyebab kematiannya dan laporan serta program yang lebih rinci akan diberikan pada waktunya,” katanya.
Ketua UOC Rukare menyebut insiden itu sebagai “tindakan pengecut dan tidak masuk akal” dan mengatakan hal itu telah menghilangkan “atlet hebat” negara tersebut.
“Warisannya akan terus bertahan,” tambahnya.
Cheptegei menderita luka bakar di tiga perempat tubuhnya, kata penjabat kepala MTRH di kota Eldoret di Rift Valley, tempat dia dirawat, kepada wartawan pada Selasa.
Mengidentifikasi tersangka sebagai pasangannya, Dickson Ndiema Marangach, polisi mengatakan dia menyiram Cheptegei dengan bensin dan membakarnya pada Ahad di rumahnya di Endebess di wilayah barat Trans-Nzoia.
Insiden itu terjadi hanya beberapa minggu setelah Cheptegei berpartisipasi dalam maraton putri di Olimpiade Paris, di mana ia finis di urutan ke-44.
Komite Olimpiade Uganda menyerukan tindakan cepat dalam pernyataan yang mengonfirmasi kematian Cheptegei.
“Kami mendesak lembaga penegak hukum terkait untuk mengambil tindakan cepat dan tegas untuk membawa pelaku ke pengadilan atas tindakan pengecut dan menyedihkan ini.”
Cheptegei memulai karirnya pada 2010 dan mewakili Uganda dalam berbagai perlombaan jarak jauh, membuat penampilan Olimpiade pertamanya di pertandingan di Paris.
Orang tuanya melakukan perjalanan ke Trans-Nzoia dan mengatakan kepada media lokal bahwa putri mereka telah membeli tanah di wilayah Kenya dan membangun rumah tempat dia tinggal selama pelatihan.
Dia bertemu Ndiema di Trans-Nzoia dan serangan itu bermula dari perselisihan mengenai rumah yang dimilikinya, menurut laporan di surat kabar The Standard.
Federasi Atletik Uganda mengecam insiden tersebut dan menyebut Cheptegei sebagai “korban kekerasan dalam rumah tangga”.
“Kami mengutuk tindakan seperti itu dan menyerukan keadilan,” kata badan olahraga itu dalam sebuah postingan.
Media Kenya melaporkan bahwa salah satu putri Cheptegei menyaksikan penyerangan di rumah ibunya.
“Dia menendang saya ketika saya mencoba berlari untuk menyelamatkan ibu saya,” The Standard mengutip perkataannya.
“Saya langsung teriak minta tolong, mengajak tetangga yang mencoba memadamkan api dengan air, tapi tidak bisa,” kata anak perempuan yang tidak disebutkan namanya itu.
Marangach juga terluka dalam insiden tersebut, dengan 30 persen luka bakar di tubuhnya.
Kematian Cheptegei menyoroti kekerasan yang dialami olahragawan wanita di Kenya. Serangan itu terjadi dua tahun setelah atlet kelahiran Kenya Damaris Mutua ditemukan tewas di Iten, pusat lari terkenal di dunia di Rift Valley.
Dan pada 2021, pelari Kenya yang memecahkan rekor Agnes Tirop, 25, ditemukan tewas ditikam di rumahnya di Iten pada 2021. Suaminya yang sudah berpisah diadili atas pembunuhannya. Dia membantah tuduhan tersebut.
Pilihan Editor: Atlet Lari Maraton Uganda Rebecca Cheptegei Terbakar setelah Diduga Disiram Bensin Pacarnya
REUTERS | AL JAZEERA