TEMPO.CO, Jakarta - Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO aplikasi Telegram, ditangkap di Bandara Le Bourget, Prancis, pada Sabtu malam. Belum ada konfirmasi resmi dari aparat Prancis mengenai penangkapan Durov, 39 tahun, yang merupakan warga negara Prancis sekaligus Uni Emirat Arab itu.
Seperti dilansir Wired pada Senin 26 Agustus 2024, dua sumber kepolisian Prancis dan satu sumber Rusia mengatakan, Durov ditangkap tak lama setelah tiba di bandara Le Bourget dengan jet pribadi dari Azerbaijan.
Menurut TF1Info, outlet media Prancis yang pertama kali mengabarkan penangkapannya, Durov didampingi seorang pengawal dan seorang wanita. Dia kemudian menghabiskan malam itu di sel penjara Prancis.
Sebelum kedatangan jet tersebut, Reuters melaporkan bahwa polisi Prancis telah mengetahui Durov ada dalam daftar penumpang dan segera bergerak untuk menangkapnya karena dia menjadi subjek surat perintah penangkapan di Prancis.
Penangkapan ini merupakan bagian dari investigasi awal yang dipimpin oleh OFMIN (Kantor Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Bawah Umur) Prancis.
Lembaga yang baru didirikan Prancis pada November tersebut telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Durov, OFMIN menyebutkan tuduhan yang mencakup pencucian uang, perdagangan narkoba, dan penyebaran konten pelecehan seksual anak di Telegram.
Kurangnya moderasi pada Telegram dan dugaan penggunaan oleh kelompok kriminal menjadi masalahnya.
Media berita lokal BFMTV dan TF1 melaporkan bahwa penyelidikan difokuskan pada potensi eksploitasi Telegram oleh entitas kriminal, serta dugaan kegagalan Durov dalam menerapkan langkah-langkah efektif untuk mencegah aktivitas ilegal di Telegram.
Awalnya, Telegram mirip dengan aplikasi chat lainnya, tetapi kemudian berkembang menjadi jejaring sosial tersendiri.
Selain berkomunikasi antar individu, platform ini memungkinkan pengguna dapat bergabung dengan grup yang beranggotakan hingga 200 ribu orang dan membuat "saluran" siaran yang dapat diikuti dan dikomentari oleh orang lain.
Telegram menawarkan pesan terenkripsi ujung ke ujung dan memungkinkan pengguna membuat saluran untuk menyebarkan informasi kepada pengikut.
Dengan 950 juta pengguna aktif bulanan, Telegram dinilai telah menjadi sumber utama informasi, dan disinformasi, tentang invasi Rusia ke Ukraina.
Aplikasi ini sangat populer di bekas Uni Soviet dan banyak digunakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, serta politisi di seluruh Ukraina, untuk merilis informasi tentang perang.
Aplikasi ini juga merupakan salah satu dari sedikit tempat warga Rusia bisa mendapatkan informasi tanpa filter tentang konflik tersebut, setelah Kremlin memperketat kontrol media setelah invasi besar-besaran.
Enkripsi yang tampaknya tidak dapat dipecahkan telah menjadikan Telegram surga bagi para ekstremis dan penganut teori konspirasi.
Media Eropa Tengah VSquare mengatakan, Telegram telah menjadi alat andalan propaganda Rusia, baik radikal sayap kiri maupun sayap kanan, QAnon di AS, dan penganut teori konspirasi. Telegram bahkan disebut sebagai ekosistem untuk radikalisasi.
Berbasis di Dubai, Telegram didirikan oleh Durov yang lahir Rusia. Ia meninggalkan Rusia pada 2014 setelah menolak untuk mematuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya, yang telah ia jual
Durov saat ini diketahui tinggal di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat. Ia mengatakan bahwa telah mencoba tinggal di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco sebelum memilih Dubai, yang ia puji karena lingkungan bisnis dan "kenetralannya."
Di UEA, Telegram menghadapi sedikit tekanan untuk memoderasi kontennya, sementara pemerintah barat berupaya menindak tegas ujaran kebencian, disinformasi, penyebaran gambar pelecehan anak, dan konten ilegal lainnya.
Pilihan Editor: Mengenal Sosok Pavel Durov, CEO Telegram yang Ditangkap di Prancis
WIRED | REUTERS